Kebetulan Vera itu satu sekolah balet denganku, tapi aku
nggak pernah menyangka Vera seperti itu. Tak terasa kami sudah sampai di
Tunjungan Plaza, dan kami segera berburu barang yang tepat buat kado dan kami
menemukan barang yang dirasa tepat, yaitu bando. Setelah membeli kertas kado
juga, kami menyempatkan makan siang di food court, sambil ngobrol ke sana
kemari termasuk menggosip ^^ seperti yang sering kami lakukan.
Jenny membungkus bando itu dengan kertas kado saat kami
selesai makan, dan kami sempat berjalan jalan sebentar, ketika berpapasan
dengan cie Stefanny. Aku terkejut melihat penampilan cie Stefanny yang tidak
seperti biasanya, ia terlihat sexy abis. “Cie? Duh… cie cie.. tumben deh”,
sapaku pada guru lesku ini. Cie Stefanny tersenyum manis sekali membalas
sapaanku. Aku mengenalkan cie Stefanny pada Jenny yang memandangnya dengan
kagum, hari itu memang cie Stefanny begitu modis.
Tubuhnya dibalut sweater putih, dan bajunya hitamnya begitu
sexy, memperlihatkan belahan dadanya. Rok hitam ketat yang hanya sampai
setengah paha, memperlihatkan paha dan betisnya yang indah. Kacamata yang
biasanya dipakai juga diganti softlens yang berwarna kebiruan, membuat cie
Stefanny tampak sempurna, beda sekali dengan penampilannya yang selalu biasa
biasa saat datang ke rumahku sebagai guru les privatku.
“Jen, ini cie Stefanny, guru les inggrisku yang sering
kuceritakan. Cakep kan Jen? Dan ini cie, temenku namanya Jenny”, aku saling
memperkenalkan mereka. “Ah kamu itu ada ada saja El. Hai Jenny, namaku
Stefanny, guru les Inggris Eliza”, cie Stefanny tersipu saat bersalaman dengan
Jenny. “Hai cie Stefanny, aku Jenny, teman sekelas Eliza. Wah cie Stefanny
memang cantik abis deh”, kata Jenny. Mendapat pujian Jenny, cie Stefanny makin
tersipu.
Kami sempat berbasa basi sebentar, dan cie Stefanny berkata,
“Udah dulu ya, cie cie mau pulang dulu”. Aku sempat bertanya, “Nggak sama ko
Melvin nih cie?”. Aku sempat merasa senyuman cie Stefanny itu terlihat getir,
saat cie Stefanny menjawab, “Nggak, sendirian aja kok. Udah dulu ya, bye bye”.
Kami berpisah, dan Jenny berkata padaku, “Wow… guru lesmu keren deh. Aku mau
dong les sama dia. Coba besok Senin kamu omongkan ya El, cie Stefanny ada waktu
nggak ngelesi aku”.
Aku mengiyakan, “Jen, kamu pasti nggak rugi deh les sama
dia. Orangnya pinter kok”. Setelah itu, aku mengantar Jenny ke rumah Sherly.
Karena nanti sore aku harus latihan balet, selain itu memang aku nggak kenal
sama Irene, jadi Jenny nanti pergi bersama Sherly. Mereka sih sekelas waktu
kelas 1. Ternyata rumah Sherly sangat besar, kamarnya juga banyak, ada sekitar
10 kamar di sana.
Kebetulan di dekat situ ada kampus swasta yang cukup
terkenal, makanya ortu Sherly menjadikan rumah itu sebagai tempat kost buat
mahasiswi yang kuliah di kampus itu. Kami duduk di sofa ruang tengah. Jenny
memperkenalkan aku pada Sherly. “El, ini Sherly, bosnya kost kostan ini, hehehe
aduh…”, Jenny dipukul oleh Sherly yang memasang muka cemberut.
Tak butuh waktu lama, kami jadi akrab, Sherly ternyata
orangnya menyenangkan. Kami membicarakan berbagai hal termasuk tentang sekolah,
dan mulai menggosip tentang beberapa hal di sekolah kami. Tiba tiba aku melihat
pintu kamar yang ada di arah depanku terbuka. Hah? Ada 2 orang laki laki yang
keluar dari kamar itu. Bukannya di sini itu tempat kost buat mahasiswi aja?
Tapi, 2 orang tadi itu lebih mirip pembantu deh daripada mahasiswa.
Dan yang membuatku semakin terkejut, tak lama kemudian
keluar seorang cewek, kelihatannya seumur dengan cie Stefanny. Rambut
panjangnya terlihat kusut, seperti juga bajunya. Sinar matanya yang sayu itu…
mirip orang yang baru orgasme habis habisan.
Keringat yang membasahi tubuhnya makin memperkuat dugaanku…
“El, kenapa?”, tanya Jenny padaku. Aku agak tergagap, dan berkata pelan pada
Jenny, “Jen, aneh ya, masa dari tadi kita di sini, tahu tahu 2 orang pembantu
tadi keluar dari kamar tuh cewek. Terus, nggak lama cewek itu juga keluar”.
Jenny melihat ke cewek itu, lalu bertanya pada Sherly, “Iya
Sher, tadi kira kira kenapa ya kok dua pembantu itu lama di dalam?”. Sherly
mengangkat bahu dan berkata, “Mungkin bantu bantu angkat barang?”. Jenny
bertanya lagi, “Dan lagi, cewek itu bajunya kusut abis ya?”.
Sherly terlihat kikuk, dan menjawab, “Oh. Cie cie itu
namanya Katherine. Tadi sih cie Katherine bilang agak pusing dan mau tidur
siang. Mungkin baru bangun tidur kali ya kusut gitu. Tapi lihat, biar kusut
gitu, masih terlihat cantik yah”
Aku dan Jenny saling pandang. Tak bisa kami pungkiri, cie
Katherine yang tadi itu memang cantik dan pasti menggairahkan sekali bagi para
lelaki. Rambutnya lurus panjang, tubuhnya mungil, ramping ideal, bentuk
payudaranya sexy. Ketika melihat kami yang memandanginya, cie Katherine
tersenyum pada kami semua, senyumnya begitu manis, hingga kami pun mau tak mau
balas tersenyum padanya.
Setelah itu kami sempat ngobrol ke sana kemari, dan tak
terasa jam menunjuk pukul 4 sore. Mau pulang juga nanggung, aku memilih
langsung menuju ke sekolah baletku. Maksudku nanti di sana aku akan menunggu di
mobil atau gimana, daripada pulang ke rumah malah dibikin orgasme oleh para
pembantu dan sopirku yang sudah keranjingan itu.
Selain itu, aku merasa lebih baik menghemat bensin kali ya,
maka aku pamit pada mereka. “Sherly, Jen, aku mau berangkat dulu ke sekolah
balet, have a good time ya”, kataku pada mereka. Sherly dan Jenny mengantarku
ke pintu gerbang, dan waktu menuju ke sana aku sempat melihat ada seorang cewek
di beranda rumah ini, yang terlihat agak terloncat seperti terkejut.
Kulihat di belakang cewek itu ada seseorang, yang mungkin
juga pembantu di rumah ini. Aku melihat cewek itu membalik badan, sepertinya
marah pada orang itu, yang hanya cengengesan saja. Aku berpikir, mungkin saja
tadi itu orang itu meremas pantat cewek itu, tapi nggak tau juga sih.
Aku merasa tempat ini semakin aneh di mataku, tapi bukan
urusanku kali ya. Aku terus berlalu menuju mobilku, dan setelah melambaikan
tangan pada Jenny dan Sherly, aku segera melajukan mobilku ke arah sekolah
baletku. Sampai di sana, aku parkirkan mobilku, lalu duduk diam sambil menyetel
musik. Tiba tiba hp-ku berbunyi, aku lihat nomer HP-nya Jenny.
Aku sudah akan mengangkat HP-ku itu, ketika aku melihat cie
Elvira turun dari mobilnya, dan masuk ke dalam sekolah baletku. Cepat amat ya
cie Elvira kok sudah datang, sekarang masih jam 4:25 tuh. “Halo? Eliza.. tolong
dong liatin, ada gak jam tanganku di mobilmu?”. Aku menoleh ke tempat duduk di
sampingku, dan karena tak kutemukan, aku mencari ke jok bawah, dan ketemu.
“Iya Jen, ada di sini. Kok jatuh ke bawah gitu Jen?”,
tanyaku. “Iya nih, tadi aku lepas bentar, soalnya keringatan. Ya udah, tolong
besok kamu bawain ke sekolah ya El”, kata Jenny. “Iya beres. Udah ya”, kataku.
“Iya El.. thanks”, suara Jenny yang riang menutup pembicaraan kami. Pandanganku
tertuju pada batagor yang dijual di sebuah rombong.
Senang deh, aku ke sana, membeli sebungkus, dan kembali ke
dalam mobil. Aku makan dengan santai, menghabiskan waktu. Selesai makan pun,
jam baru menunjuk pukul 16:40. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam ruang
latihan balet untuk ngobrol dengan cie Elvira yang selalu ramah dan sayang
kepadaku sekalian menghapus ingatanku tentang kekejaman cie Elvira di dalam
mimpi tadi.
Di dalam, aku mencari cie Elvira yang sudah masuk sejak
tadi. Ada suara derit kursi panjang di belakang panggung, dan aku langsung
menuju ke sana. Dan jantungku hampir berhenti ketika aku melihat cie Elvira,
digenjot oleh pak Agil. Cie Elvira terlihat pasrah, tubuhnya yang telanjang
bulat tersentak sentak di atas kursi panjang tempat biasa kami duduk duduk,
sedangkan pak Agil hanya mengenakan baju atasan.
Aku bisa melihat jelas, vagina cie Elvira yang mungil
diterobos penisnya pak Agil yang kelihatan agak besar dan berurat, dan desahan
pelan yang sexy dari cie Elvira sesekali terdengar, membuatku panas dingin
melihatnya. Cie Elvira sama sekali tak terlihat diperkosa, bahkan dengan penuh
penyerahan cie Elvira melayani setiap tusukan pak Agil dengan sedikit
mengangkat pinggulnya.
Oh iya, pak Agil ini, tukang sapu di sekolah baletku ini.
Pak Agil ini orangnya agak gemuk, kumisnya tipis dan bibirnya itu.. tebal amat.
Umur orang ini kira kira 45 tahun. Aku memang sempat merasa aneh, karena pak
Agil suka berlama lama memandangi cie Elvira, dan kini aku melihat dia sedang
menggenjot cie Elvira dengan bernafsu, sementara cie Elvira sendiri
kelihatannya pasrah saja diperlakukan seperti itu.
Cie Elvira sendiri kini berumur 27 tahun. Tubuhnya langsing
ideal, rambutnya agak bergelombang dihighlight kuning membuatnya tampak semakin
cantik. Kulitnya putih mulus, seputih kulitku. Payudaranya kencang dan indah.
dan kini kulihat cie Elvira melenguh keenakan. “enggghh… aduuuh… aaaah…”, cie
Elvira menggelepar hingga derit kursi itu makin keras.
Rupanya cie Elvira sudah orgasme, dan beberapa saat kemudian
giliran pak Agil yang orgasme. Ia menggeram dan tubuhnya bergetar, kulihat
cairan putih kental menggelayut di penisnya yang ditarik keluar. Saat itulah
cie Elvira melihatku, ia begitu terkejut dan gugup. “Eliza..?”, desis cie
Elvira.
Pak Agil yang posisinya membelakangiku menoleh menghadapku,
tapi pak Agil kelihatan cuek, dan dengan tenang ia memakai celana panjangnya,
lalu ia melewatiku yang masih terpaku. Dengan kurang ajar pak Agil meremas
payudara kiriku, kasar dan menyakitkan, membuatku tersadar dan mengaduh, “Ah…
aduuh… sakit paak!”.
Pak Agil melepas remasannya ketika cie Elvira membentak,
“Gil, jangan kurang ajar ya sama Eliza!”. Ia pun berlalu sambil cengengesan.
Aku memegangi payudara kiriku yang masih terasa sakit. Cie Elvira
membelakangiku, ia membersihkan vaginanya dan mengenakan pakaian dalamnya, lalu
berganti baju balet.
Aku merasa canggung, dan memilih masuk ke kamar ganti, lalu
berganti pakaian balet di sana. Ketika aku keluar, cie Elvira masih duduk di
kursi panjang itu dengan sudah mengenakan kostum baletnya, dan aku tak berani
mendekatinya. Aku memilih menunggu di panggung tempat latihan.
Jam menunjuk pukul 4:50, ketika teman temanku satu per satu
datang, kebanyakan sudah memakai kostum baletnya, tinggal melepas baju luar
saja. Dan latihan pun dimulai seperti biasa, tapi ketika cie Elvira mengajarkan
gerakan baru, tentu saja di antara kami ada yang melakukan kesalahan. Dan tak
seperti biasanya, kali ini Cie Elvira mudah marah.
Dalam sebuah gerakan yang memang cukup sulit, ia malah agak
membentak temanku Vera, yang beberapa kali melakukan kesalahan. Suasana jadi
tegang dan tidak enak, kami semua agak gugup menjalani latihan ini. “Sudah,
dari tadi kalian salah terus. Lebih baik latihan kita akhiri saja sekarang. Kalian
ingat ingat tadi gerakan yang sudah cie cie ajarkan, minggu depan harus lebih
baik!”, kata cie Elvira ketus, lalu ia berbalik ke ruang ganti.
Ini masih baru setengah jam, dan kami semua bingung, tapi
aku mungkin mengerti kenapa cie Elvira begitu. Aku segera ke dalam, ikut
berganti pakaian, dan ketika berpapasan dengan cie Elvira, aku mendekatinya.
“Cie Vira mau ikut makan malam sama Eliza?”, tanyaku lembut. Cie Elvira
memandangku, dan tak lama ia mengangguk.”Kalau gitu, ke restaurant Halim di
Mayjen ya cie?”, tanyaku lagi.
Cie Elvira mengangguk dan menjawab, “Ya, aku tahu tempatnya.
Thanks ya, Eliza”. Ia tersenyum manis, membuat aku merasa mimpiku tadi pagi itu
begitu konyol, dan memutuskan untuk melupakannya saja. Mobil kami berjalan
beriringan, menuju ke tempat yang tadi kami sepakati. Sampai di sana, kami
memesan beberapa makanan.
Di tengah suasana yang kaku ini, cie Elvira mendadak minta
maaf padaku, “Eliza, sorry ya cie cie nggak bisa ngelindungin kamu tadi. Sakit
nggak tadi digituin sama Agil sialan itu?”. Aku jadi tak enak, dan menjawab,
“Cie, tadi kan untung ada cie Vira. Kalau cie Vira nggak membentak pak Agil,
mungkin dia sudah berbuat lebih jauh terhadap Eliza”. Cie Vira masih menunduk.
Aku mencoba menghiburnya. “Cie Vira, yang tadi itu nggak
usah dipikirin, Eliza nggak akan cerita cerita ke siapa siapa kok”. Cie Elvira
tersenyum penuh terima kasih padaku, kini ia sudah tidak segalau tadi. “Eliza,
cie cie jadi begini, bukan karena tanpa alasan. Kamu mau dengar cerita cie
cie?”, tanya cie Elvira padaku. Kontras sekali dengan akhir tahun lalu, waktu
itu cie Elvira begitu mesra dengan suaminya.
“Iya cie, cerita aja, mungkin nanti beban cie cie bisa lebih
ringan”, aku tersenyum dan bersiap mendengarkan curahan hati cie Elvira.
Cie Elvira menerawang dan mulai bercerita, tentang masa
lalunya ketika pacaran dengan ko Johan, mereka adalah pasangan yang amat
berbahagia. Tiga tahun lalu, mereka menikah dengan restu kedua orang tua
mereka, dan cie Elvira ikut ko Johan yang tinggal bersama ortunya.
Setelah dua tahun menikah dan tak dikaruniai anak, mama
mertua cie Elvira mulai uring uringan. Tanpa bukti yang kuat, mamanya ko Johan
dengan seenaknya menuduh cie Elvira yang mandul. “Aku sudah periksa, dan hasil
tes menunjukkan, aku sama sekali tidak mandul”, kata cie Elvira yang mulai
menitikkan air mata. Aku bisa merasakan kepedihannya, tapi aku hanya diam tak
tahu harus berkata apa.
Makanan yang kami pesan sudah datang, dan di sela waktu kami
makan, cie Elvira meneruskan ceritanya. Ko Johan yang ternyata tipe anak mama,
tak pernah sedikitpun membelanya, tak berani mengakui kalau dirinya yang
bermasalah, mengidap impotensi ringan, terbukti dari penisnya yang tak begitu
keras saat ereksi. Memang ko Johan bisa menyetubuhi cie Elvira, tapi selain
penisnya yang lembek tak bisa memuaskan cie Elvira, juga keluarnya amat cepat,
di bawah lima menit.
Pernah waktu cairan sperma ko Johan tumpah di perutnya usai
bersetubuh di pagi hari, cie Elvira diam diam menaruh cairan itu dalam sebuah
tempat dan membawa ke laboratorium siang itu juga Hasilnya ternyata ko Johan
yang mandul. Ingin sekali cie Elvira mengatakan yang sebenarnya.
Tapi cie Elvira tak tega menyakiti ko Johan. Jadi ia memikul
semua beban itu sendirian. Suatu hari, dalam sebuah pertengkaran mulut, mama
mertuanya memaki cie Elvira dengan kejam, “Memang, kamu itu cantik, punya body
yang sexy. Tapi apa guna semua itu kalau kamu nggak bisa melahirkan anak buat
Johan?”.
Cie Elvira hanya bisa menangis, ia segera meninggalkan mama
mertuanya, pergi ke sekolah balet kami, walaupun waktunya masih dua jam lagi.
Di sana cie Elvira menangis sejadi jadinya, dan tanpa cie Elvira sadari, pak
Agil mendekatinya, dan suara pak Agil mengejutkannya. “Bu Elvira, cakep cakep
kok nangis?”, tanya pak Agil. Cie Elvira langsung menyusuti air matanya dengan
tissue, lalu mengambil sebatang rokok dari tas.
Cie Elvira minta api pada pak Agil, yang segera mengeluarkan
korek api dari sakunya, dan menyalakannya buat cie Elvira. Dengan cuek, cie
Elvira merokok, diikuti pak Agil yang juga merokok. Mereka mulai terlibat
obrolan ringan, sampai kemudian ketika rokok mereka sudah habis, pak Agil
mengulangi pertanyaannya tadi, “Bu Elvira, tadi kenapa menangis?”.
Cie Elvira cuma diam, merasa tak ada perlunya orang macam
pak Agil ini tahu urusan rumah tangganya. Tiba tiba cie Elvira terkejut ketika
pak Agil membelai rambutnya, dan belum sempat cie Elvira berbuat sesuatu, pak
Agil sudah mendekap tubuh cie Elvira, dan bibirnya dipagut dengan ganas.
Diperlakukan seperti itu tanpa disangka sangkanya, cie Elvira hanya bisa
pasrah.
Pak Agil semakin berani, satu per satu pakaian cie Elvira
dilucuti, kemudian setelah melepas pakaiannya sendiri ia membaringkan cie
Elvira di bangku panjang itu, dan mulai menyetubuhi cie Elvira yang tak
memberikan perlawanan atau pemberontakan sedikitpun.
Cie Elvira yang sudah hanyut, merasa tak ada perlunya
mempertahankan nilai kesetiaan, karena selama ini ia diperlakukan tidak adil.
Cie Elvira masih mencintai ko Johan, tapi tusukan penis pak Agil yang begitu
keras dibandingkan milik ko Johan, membuat cie Elvira merasa melayang dan larut
dalam persetubuhan itu, tak kuasa menolak kenikmatan yang didapat dari pak
Agil.
Kali pertama, cie Elviira meminta pak Agil mengeluarkan
spermanya di luar. Setelah itu, setiap mengajar balet cie Elvira datang lebih
pagi untuk menghindari stress akibat bertengkar dengan mama mertua. Tapi cie
Elvira tahu pak Agil akan meminta jatah lagi, maka ia mulai rutin minum obat
anti hamil, dan memang, pak Agil tanpa malu malu terus terusan meminta
jatahnya, dan cie Elvira setengah terpaksa menurutinya.
“Begitulah, Eliza. Tiap cie cie ke sana, cie cie melayani
pak Agil lebih dulu sebelum mengajar. Kamu boleh anggap cie cie murahan atau
yang sejenisnya, tapi cie cie sudah tak ada jalan lain. Rasanya stress di rumah
tiap hari bertengkar mulut dengan mama mertua, sementara suami tak bisa
melindungi cie cie, hanya bisa diam melihat cie cie dibentak bentak mamanya”,
kata cie Elvira pilu dan menunduk sedih.
“Cie, aduh… Liza ikut sedih cie. Semoga cie cie tabah ya..”,
kataku yang tak tahu harus bagaimana menghibur cie Elvira. Ia memandangku dan
tersenyum pahit, “Eliza, terima kasih ya. Kamu memang baik, semoga nasibmu
kelak lebih baik dari cie cie”. Aku hanya bisa menunduk, merenungi nasibku yang
sekarang ini sebenarnya tak lebih baik dari cie Elvira.
Tak terasa kami sudah selesai makan, dan aku memaksa cie
Elvira supaya kali ini aku yang traktir. Setelah itu, kami saling berpamitan
dan pulang ke rumah masing masing. Sampai rumah, sekitar jam 8 malam, aku tidak
mendapati mobil kedua orang tuaku, juga mobil kokoku yang kata Sulikah pergi ke
rumah temannya.
Aduh.. habis deh. Pak Arifin, Wawan dan Suwito langsung
menarikku ke kamar mereka, dan aku segera jadi bulan bulanan mereka. Mereka
seolah melepaskan segala kerinduan mereka padaku, setelah sekitar 2 minggu
tidak mendapat kesempatan menikmati diriku.
Untung aku sudah minum obat anti hamil, maka aku hanya
pasrah saat merasakan penis demi penis berkedut dalam vaginaku, menyemburkan
sperma yang membasahi rahimku. Dua jam lebih aku melayani mereka, tubuhku
rasanya pegal pegal karena berulang kali orgasme habis habisan. Mereka berhenti
setelah dua ronde menyetubuhiku, dan tergeletak puas di sekitarku yang sudah
amat lemas.
Setelah pesta seks ini selesai, aku kembali ke kamarku dengan
telanjang bulat. Aku mandi membersihkan tubuhku. Setelah mengeringkan seluruh
tubuhku, aku segera tidur tanpa mengenakan apapun, hanya berselimut bed cover.
Rasanya nyaman sekali, dan dengan cepat aku sudah tertidur pulas.
Tak terasa, sudah seminggu waktu berlalu sejak peristiwa
itu. Tak ada kejadian spesial selama seminggu ini, selain aku memberitahu pada
cie Stefanny kalau Jenny berminat untuk les privat, dan mereka sudah saling
kontak untuk membicarakan hal itu.
Di sekolah aku seperti biasa, bersikap cuek pada tatapan
penuh nafsu dari pak Edy wali kelasku, juga pandangan mesum dari para satpam
dan tukang sapu yang sudah beberapa kali menikmati tubuhku. Sebenarnya sebal
juga, tapi aku tak tahu harus berbuat apa.
Tapi ada satu hal yang membuatku tertegun, aku sempat
melihat Vera, temanku yang dikatakan Jenny cewek bispak di sekolah kami,
sepulang dari sekolah ia dijemput om om, yang sudah pasti bukan papanya. Aku
pernah melihat papanya Vera ketika acara terima raport akhir tahun lalu. Aku
sempat menduga duga, apakah orang itu saudara ortunya, atau …?
Hari minggu ini, setelah menjalankan rutinitasku, dan sempat
berjalan jalan dengan Jenny, aku memutuskan untuk tidak pulang dan langsung ke
tempat balet. Aku merasa bisa membantu cie Elvira untuk tidak terlalu terlibat
dengan pak Agil itu. Ketika jam masih menunjuk pukul 4:15 sore, aku sudah duduk
duduk di teras gedung sekolah balet kami, menunggu cie Elvira.
Rencananya nanti aku akan mengajak cie Elvira ngobrol
daripada cie Elvira harus melayani pak Agil itu. Tapi apa yang terjadi
berikutnya sungguh di luar dugaanku. Pak Agil tiba tiba keluar dari pintu
masuk, dan bertanya padaku, “Non Eliza, waktu saya bersih bersih minggu lalu,
di ruang ganti ada barang yang tertinggal minggu lalu. Coba non lihat, apa itu
kepunyaan non Eliza?”.
Ditanya demikian di depan orang banyak yang berjualan di
depan situ, aku mau tak mau terpaksa masuk untuk melihat, daripada kesannya
tidak sopan. Walaupun aku merasa tak meninggalkan barang minggu lalu, tapi
andaikan memang barang itu kepunyaanku, aku tahu aku sedang masuk ke sarang
penyamun. Seperti yang aku kira, di dalam ruang ganti memang tak ada apa apa.
Ketika aku membalik badan, kulihat pak Agil sudah di
belakangku sejak tadi, ia tersenyum menyeringai kepadaku, dan aku tahu aku akan
bernasib buruk hari ini. Di dunia ini akan segera bertambah lagi satu maniak
yang menjadikan aku budak seksnya. Aku mengutuki nasibku dalam hati.
Tapi aku masih berusaha untuk lolos dari cengkeraman bandot
tua ini. “Pak, saya mau keluar dulu, di sini nggak ada apa apa kok”, kataku
berusaha menjaga nada bicaraku tetap sopan. “Non, buat apa keluar lagi? Enakan
di sini sama bapak. Minggu lalu saya sudah merasakan susu non yang kiri,
sekarang saya mau susu non yang kanan”, katanya dengan kurang ajar.
Ingin aku menamparnya, tapi bisa bisa ia makin mengasariku
nanti, maka aku meredam keinginanku ini. Tak terasa aku mundur dan menyilangkan
kedua tanganku menutupi payudaraku yang sebenarnya masih tertutup bajuku.”Pak,
jangan kurang ajar ya. Saya akan teriak!”, aku mencoba menggertaknya. Tapi pak
Agil malah tersenyum, senyuman itu memuakkan tapi mengerikan juga.
Pak Agil menjawab santai, “Teriak saja non. Sekalian biar
orang orang di luar tahu keindahan tubuh non, dan pasti mereka nggak akan
menolak kalau saya ajak untuk ikut menikmati servisnya non Liza”. Aku langsung
lemas, rupanya ini arti mimpi burukku minggu lalu. Aku mengurungkan niatku,
daripada aku digangbang tukang sapu ini dan beberapa penjual makanan kecil di
luar.
Sudah cukup aku digangbang para pembantu dan sopirku di
rumah, juga para satpam dan tukang sapu di sekolahku. Tanpa perlawanan yang
berarti dariku, pak Agil sudah melucuti pakaianku hingga aku tinggal mengenakan
bra dan celana dalam. Matanya melotot seakan hendak copot ketika ia memandangi
tubuhku yang putih mulus tanpa cacat ini.
“Oh.. amoy yang satu ini memang sip”, guman pak Agil, tapi
aku dapat mendengarnya jelas. Aku mencoba untuk memohon, “Pak, tolong jangan
begini pak. Pak Agil butuh uang? Katakan pak, saya bisa bantu. Tapi jangan
perkosa saya pak, saya aaah…”, aku mengerang ketika pak Agil sudah menyergapku
dan meremas kedua payudaraku yang masih tertutup bra ini dengan kasarnya.
Aku menggeliat kesakitan dan berusaha melepaskan tangan
kekar yang mencengkram kedua payudaraku ini, tapi usahaku sia sia saja,
tenagaku terlalu lemah, dan rasa sakit ini membuatku semakin lemas. Selagi aku
menahan sakit ini, pak Agil berbisik di telingaku, “Uang? Buat apa non? Saya
tak ada keluarga, gaji saya sudah cukup untuk makan. Saya tak kepingin duit
banyak, cuma kepingin mencicipi tubuh amoy cantik macam non gini”.
Hembusan nafasnya yang hangat di telingaku membuatku
bergidik ngeri, aku tahu sudah tak ada jalan keluar setelah mendengar
jawabannya. Kurasakan kedua payudaraku sudah tak diremas, tapi tiba tiba pak
Agil mengarahkan mukaku ke hadapannya, bibirku dipagutnya dengan ganas,
sementara celana dalamku dilorotkan seperlunya supaya jari tangannya bisa
menusuk nusuk vaginaku.
Mendapat perlakuan seperti ini, aku hanya bisa menggeliat
dan mengerang mengeluarkan suara tak jelas, “Emmph… mmmhh..”. Aku terus
meronta, tapi makin lama rontaanku makin lemah, dan kudengar pak Agil tertawa
menjijikkan, nampaknya ia yakin sekali aku sudah takluk padanya. Tapi aku tak
bisa apa apa, tenagaku rasanya sudah melayang lenyap entah kemana.
Aku memejamkan mata, perlahan rasa nikmat yang menjalari
tubuhku kembali mengalahkan akal sehatku. Desahan dan lenguhanku mulai
terdengar, makin lama makin keras. Entah sejak kapan, tapi braku sudah jatuh ke
lantai, celana dalamku juga sudah melayang entah kemana. Pak Agil mengatur
posisiku sedemikian rupa hingga aku berdiri agak doyong ke depan menghadap kaca
rias, dengan kedua tanganku menumpu di sana, kedua kakiku terpentang lebar.
Aku makin keras mendesah ketika beberapa jari tangannya
mengaduk aduk vaginaku dari belakang. Kupejamkan mataku kuat kuat, rasanya malu
memandang diriku di kaca dalam keadaan telanjang bulat dan sedang dipermainkan
dari belakang oleh orang yang seumur dengan papaku. “Non, enak ya non diaduk
aduk gini?”, ejek pak Agil melihatku sedang menggeliat keenakan.
Aku hanya bisa diam menahan rasa malu ini, tapi aku tak
mampu bertahan untuk tidak orgasme, akhirnya tubuhku mulai tersentak sentak.
Saat orgasme pertama mulai melandaku, kurasakan pak Agil mencabut jari
tangannya dari liang vaginaku, dan tiba tiba kurasakan vaginaku yang pasti
sedang mengeluarkan cairan cintaku ini, dijilati dan dicucup oleh pak Agil.
Tiba tiba kurasakan lidah pak Agil membelah dan menusuk
vaginaku, mengorek ngorek semua sisa cairan cintaku, membuat aku terbeliak menahan
nikmat, nafasku tertahan, dan tubuhku makin menggelinjang. Tak bisa kutahan
lagi, aku melenguh keenakan, “nggghhhh… ooooohhhh”.
Aku melemas dan jatuh berlutut, tanganku yang serasa lunglai
kupakai menahan tubuhku yang bergetar getar merasakan nikmat yang luar biasa
ini. Ketika aku masih belum selesai melewati orgasme ini, tiba tiba pak Agil
sudah ada di depanku dan membuka resleting celananya. Ia mengeluarkan penisnya
yang sudah menegang, dan dengan seenaknya ia menyodorkan penisnya di depan
mulutku, seolah olah memerintahkan budaknya untuk menghisap penisnya.
Aku merasa terhina diperlakukan seperti ini, tapi aku tak
bisa berbuat apa apa, dan terpaksa menurutinya. Aku sempat memperhatikan penis
yang minggu lalu mengaduk aduk vagina cie Elvira ini. Panjang, paling tidak
antara 18 - 19 cm. Walaupun diameternya hanya sekitar 3,5 cm,tapi urat urat
yang menonjol membuat penis itu terlihat kekar dan menyeramkan, siap mengaduk
aduk liang vaginaku dengan ganas.
Kubuka mulutku perlahan, dan pak Agil yang sudah tak sabar
langsung menjejalkan penisnya ke dalam mulutku. Aku segera berusaha membiasakan
diri dengan rasa penis pak Agil ini. Penis yang begitu keras itu kuulum kulum
dan kujilati memutar, perlahan akhirnya aku mulai menikmati mengoral penis
panjang ini. Kumasukkan penis ini ke tenggorokanku dalam dalam, hingga pak Agil
mengerang ngerang keenakan.
Aku sedang mencucup kepala penis pak Agil ketika tiba tiba
aku mendengar kata kata pak Agil, “Bu Elvira, bukan saya yang maksa lho, tapi
memang murid ibu yang nafsu nyepongin punya saya ini”. Serasa bagai mendengar
petir di siang bolong, aku melepaskan kulumanku pada penis pak Agil, dan memang
di kaca rias ruang ganti yang memanjang itu kulihat cie Elvira yang menandangku
dengan tertegun.
Terlihat jelas ia tak percaya melihat apa yang sedang kulakukan
ini. “Eliza… kamu…?”, cie Elvira bertanya kepadaku yang hanya bisa menunduk,
aku malu dan takut sekali, tak berani melihat muka cie Elvira. Pak Agil yang
tertawa tawa sejak tadi, tiba tiba mengangkat tubuhku, dan aku kembali
diposisikan seperti tadi, dengan kedua kaki terpentang lebar dan tanganku
kembali menumpu di kaca rias menahan badanku yang doyong ke depan.
Sekali ini tentu pak Agil tak hanya menggunakan jarinya,
penisnya yang baru saja kukulum tadi akan segera menghajar selangkanganku. “Bu
Elvira, daripada nanti ngiri sama murid ibu, sekalian aja gabung ke sini bu”,
kata pak Agil dengan nada yang benar benar mengejek kami berdua. Aku melihat
dari kaca rias, cie Elvira medekati kami sambil melihatku dengan pandangan yang
aneh.
Dan tiba tiba pak Agil memegangi pinggulku, lalu penisnya
ditempelkan ke mulut vaginaku. Dengan sekali sentak, penis itu tertelan habis
ke dalam liang vaginaku yang sudah amat basah, sementara penis itu sendiri
sudah basah oleh air liurku tadi.
“Ngghhh…”, aku melenguh antara sakit dan nikmat, merasakan
urat urat yang menggerinjal pada penis pak Agil ini menerobos keluar masuk,
membuat setiap gesekan pada dinding liang vaginaku terasa begitu nikmat”
“Oooh.. sempitnya noon”, erang pak Agil. Aku menggigit bibir menahan nikmat
yang mengalahkan rasa malu ini, disetubuhi di depan cie Elvira.
Tiba tiba kulihat dari kaca rias, pak Agil yang masih
menggenjotku dari belakang, merangkul cie Elvira dan memagut bibirnya habis
habisan, dan cie Elvira terlihat larut dalam pagutan pak Agil. Keduanya
melakukan french kiss cukup lama, tapi pak Agil terus menggenjotku dengan tempo
yang lumayan cepat.
Setelah puas melumat bibir cie Elvira, pak Agil menyuruh cie
Elvira memposisikan dirinya sepertiku di sebelah kananku, kemudian segera
kudengar cie Elvira mendesah dan kulihat tubuh cie Elvira tersentak beberapa
kali. Saat kulihat ke belakang, ternyata tangan pak Agil sedang berada di
sekitar selangkangan cie Elvira. Mudah saja ditebak, pasti sekarang jari tangan
pak Agil sedang mengaduk aduk vagina cie Elvira.
“Aaaah…”, aku mengerang ketika dengan kasar pak Agil
menyodokkan penisnya dalam dalam, tubuhku mengejang menahan rasa sakit bercampur
nikmat yang melanda tubuhku ini. Cie Elvira yang di sebelahku juga mulai
menggeliat, tapi yang membuatku merasa kikuk, cie Elvira memandangku dengan
tatapan yang sayu dan aneh, membuat aku jadi salah tingkah dan bulu kudukku
serasa meremang. Masa iya cie Elvira sedang bermaksud lain padaku?
Cie Elvira tiba tiba meraih tangan kananku dan dilingkarkan
ke lehernya, sementara ia juga melingkarkan tangan kirinya pada leherku. Ia
menolehkan mukaku, medekatkan mukanya dan tiba tiba memagut bibirku dengan
ganas, membuat jantungku serasa berhenti, tak tahu harus berbuat apa. Tak lama
kemudian, aku sudah hanyut oleh ciuman cie Elvira, dan dari awalnya tegang,
lalu aku mulai pasrah.
Sekarang aku bahkan membalas ciuman ini. Lidah kami saling
bertautan, aku merasa nikmat yang melandaku semakin berlipat ganda, dengan
sodokan demi sodokan penis pak Agil yang menghajar vaginaku dengan ganas
sementara aku berciuman dengan cie Elvira sampai akhirnya kami saling
melepaskan diri setelah sama sama kehabisan nafas.
Aku hanya bisa tersipu malu tak berani memandang cie Elvira,
tapi harus kuakui ada gairah aneh yang sempat melandaku tadi saat kami saling
berpagut seperti layaknya sepasang kekasih. Setelah beberapa menit digenjot pak
Agil, aku mulai merasakan akibatnya. “Ngghh… ooooh… aduuuh…”, aku mulai
melenguh dan mengerang, rasanya aku akan segera orgasme.
Di sebelahku kulihat cie Elvira juga mulai menggeliat dan
tubuhnya bergetar getar, terlihat sekali cie Elvira sedang dilanda kenikmatan
yang maha dashyat. Aku sendiri sudah melayang di awang awang, tubuhu tersentak
sentak dilanda orgasme yang kedua kalinya ini.
“Oooohh.. gilaaa.. seret abiiiis nooon”, erang pak Agil
ketika otot vaginaku rasanya berkontraksi, pasti saat ini pak Agil merasa penisnya
sedang diremas remas di dalam sana. Tak lama kemudian pak Agil menggeram,
kurasakan penisnya berkedut dan menyemprotkan cairan hangat di dalam liang
vaginaku saat ia mengerang ngerang penuh kepuasan.
Aku langsung melemas dan jatuh berlutut, penisnya terlepas
dari vaginaku. Tak kuduga, cie Elvira tiba tiba merangsek ke selangkanganku,
kini wajahnya sudah ada di hadapan vaginaku dengan tatapan penuh nafsu. Aku
agak ngeri dan merambat mundur, tapi cie Elvira dengan cepat sudah memeluk
kedua pahaku yang dilebarkannya.
Vaginaku sudah diserang habis oleh cie Elvira yang mencucup
cairan cintaku yang sudah bercampur dengan sperma pak Agil. “Ciee.. ooooh…
nggghhhh… “, aku mengerang dan melenguh, tubuhku menggelepar tak berdaya
dihantam kenikmatan yang tiada tara ini. Beberapa menit lamanya tubuhku
tersentak sentak dihantam badai orgasme.
Rasanya tubuhku semakin lemas, dan aku sudah pasrah,
terserah mereka berdua yang hendak memperlakukan tubuhku seperti apa. Aku
menurut saja ketika pak Agil memasukkan penisnya ke mulutku, dan tanpa
diperintah aku sudah mengulum ngulum penis itu, menyeruput semua sisa spermanya
dan cairan cintaku yang masih menempel di penis itu.
Tiba tiba terdengar suara pintu ruang depan terbuka, membuat
aku sadar dari pesta seks yang memabukkan ini. Dengan panik aku segera melepas
kulumanku pada penis pak Agil, lalu menyambar semua bajuku yang berserakan dan
segera masuk ke salah satu kamar ganti lalu menutup tirainya.
Aku tak tahu apa yang dilakukan cie Elvira ataupun pak Agil,
tapi akuku berharap mereka tak segila itu untuk membiarkan teman teman les
balet tahu apa yang baru saja terjadi. Aku langsung mengenakan bra dan celana
dalamku, lalu mengenakan kostum baletku. Ketika aku memakai sepatuku, aku
melihat bercak basah di bagian selangkanganku.
Kelihatannya cairan cintaku masih terus mengalir dari
vaginaku yang memang masih terasa berdenyut denyut. Urat urat penis pak Agil
tadi benar benar membuatku keenakan, tapi kini aku bingung, bagaimana jika di
antara teman temanku ada yang menyadari vaginaku baru saja memuntahkan cairan
cinta?
Kudengar suara teman temanku yang gaduh seperti biasanya
saat berganti di ruangan ini. Aku keluar dari ruang ganti, menyapa semuanya dan
segera pergi ke atas panggung latihan. Jantungku berdebar kencang, berharap
acara latihan ini segera selesai, sebelum ada yang tahu tentang selangkanganku
yang basah. Cie Elvira sudah datang ke atas panggung, dan latihan pun dimulai.
Aku berada di depan sendiri seperti biasa, jadi aku masih
punya harapan tak ada yang tahu tentang keadaanku. Ketika latihan baru berjalan
15 menit, cie Elvira tiba tiba menghentikan kami sejenak, dan mendatangiku. Aku
jadi agak panik dan memandangnya dengan penuh tanda tanya, tapi perasaan tegang
itu langsung sirna ketika aku mendengar kata kata cie Elvira.
“Liza, kamu kelihatan sakit? Badanmu tak biasanya sampai
berkeringat banyak seperti ini. kalau kamu sakit, nggak usah dipaksakan deh,
kamu boleh istirahat di ruang ganti, atau menonton saja di bawah panggung”, kata
cie Elvira lembut.
Dengan penuh rasa terima kasih, aku mengangguk pada cie
Elvira, lalu aku segera keluar dari barisan menuju ke ruang ganti di belakang
panggung. Tapi ketika aku masuk, aku sadar aku harusnya lebih baik menonton
saja tadi, karena ruang ganti ini sudah menunggu pak Agil dengan senyumnya yang
menjemukan.
“Wah wah, non sudah gak sabar ya, masa sampai bela belain
meninggalkan latihan yang baru saja dimulai. Sudah kangen ngerasain ini lagi ya
non?”, kata pak Agil dengan kurang ajarnya sambil jari telunjuknya menunjuk ke
arah selangkangannya. Aku hendak keluar untuk menyelamatkan diri, tapi pak Agil
lebih sigap.
Pak Agil menangkap pergelangan tanganku, lalu menyeretku ke
dalam salah satu kamar ganti dan menutupkan tirainya. “Pak Agil.. jangan begini
paak…”, aku berusaha memohon agar ia menghentikan semua ini. Tapi seperti orang
yang kesetanan, pak Agil memepetkan aku ke dinding sekat, lalu mencumbuku
dengan ganas dan terus meremasi kedua payudaraku dan meraba raba sekujur
tubuhku.
Aku mulai meronta, berusaha lepas dari semua ini. Kudorong
mukanya yang dari tadi menyusuri mukaku dengan bernafsu, dan tiba tiba aku
kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh ke tempat yang biasa dipakai duduk untuk
mengenakan sepatu. Untung saja kepalaku tidak terbentur ke tembok. Pak Agil
yang langsung menindihku, membuat posisiku semakin terjepit.
“Kalau non melawan terus, nanti sepulang latihan non akan
saya bagikan pada orang orang yang berjualan di depan. Apa begitu maunya non?”,
ancam pak Agil, membuat aku bergidik ngeri dan perlawananku berhenti dengan
sendirinya.
“Lagipula, non gak usah malu malu deh”, kata Pak Agil dengan
nafas memburu. “Tadi bukannya non keenakan sampai keluar dua kali? kok sekarang
pura pura nggak mau”, ejeknya lagi. Aku membuang muka, ejekan itu benar benar
membuat aku tak berdaya. Ingin aku menyangkal tapi kenyataannya memang aku tadi
orgasme dua kali dibuatnya.
“Non, ayo lepas bajunya. Atau saya bantuin melepas?” tanya
pak Agil sambil berdiri dan melepas celananya. “Pak, saya lepas sendiri saja”,
kataku cepat. Aku tak ingin kostum baletku ini robek karena kebodohan pak Agil
yang pasti tak tahu bagaimana melepas kostum balet dengan benar. Aku mulai
melucuti bajuku sendiri, dan kumasukkan ke dalam tasku di luar.
Kini tinggal bra dan celana dalam yang menutupi tubuhku. Aku
masuk kembali ke dalam ruangan eksekusi itu, dengan membawa tasku. Ketika aku
melorotkan celana dalamku yang sudah becek itu, pak Agil kelihatan sudah tak
tahan melihat pertunjukan striptease yang sedang kulakukan ini. Ia langsung
menyergapku dan merenggut lepas braku.
Aku kembali dirobohkan ke tempat duduk itu, dan dengan buas
pak Agil mencumbuiku habis habisan. Puting susu payudaraku yang sebelah kanan dicucupnya
kuat kuat, sesekali digigit kecil olehnya. Selagi aku menggeliat lemah menahan
sakit, payudaraku yang kanan mulai diremas remas dengan kasar. Dirangsang habis
habisan seperti ini, akhirnya aku tak mampu bertahan untuk tidak mendesah.
Aku kembali menyerahkan diriku dengan putus asa, membiarkan
pak Agil memperlakukan tubuhku sesuka hatinya. Tangan kiri pak Agil yang
menganggur, kini mengaduk aduk vaginaku dengan sedikit kasar. Selagi aku
berusaha beradaptasi dengan kekasaran pak Agil ini, beberapa saat kemudian
kurasakan kepala penis pak Agil sudah bergesekan dengan bibir vaginaku.
Tubuhku yang dipepet pak Agil tak bisa bergerak bebas, maka
aku hanya bisa pasrah, kedua pahaku sudah terangkat melebar, dan aku merasakan
setiap milimeter gesekan penis pak Agil pada dinding liang vaginaku ketika
penetrasi itu dimulai, dan tubuhku mengejang antara sakit bercampur nikmat, dan
aku menggigit bibirku, berusaha segera beradaptasi dengan persetubuhan ini.
Hingar bingar suara musik di luar membuat aku lebih leluasa
untuk melepaskan lenguhan tanpa kuatir terdengar oleh mereka. “Enngghh.. pak…”,
aku melenguh keenakan ketika tiba tiba penis pak Agil menyodok dalam dalam.
Cairan cintaku yang sudah kembali meleleh melumasi vaginaku membuat sodokan itu
terasa begitu nikmat.
Apalagi urat urat yang menggerinjal itu berdenyut denyut,
membuat aku kehilangan kontrol dan mulai menggerakkan pinggulku menyambut tiap
genjotan yang dilakukan pak Agil. “Enak ya non?” tanya pak Agil dengan senyum
mengejek. “Iyah pak… nngghh.. ooohh” jawabku tanpa sadar. Yang kupikirkan
sekarang adalah mengejar orgasmeku, tak kuperdulikan pak Agil yang mengejekku
dengan cara menirukan desahan, erangan dan lenguhanku.
Genjotan itu makin lama makin kuat, akhirnya aku dilanda
orgasme hebat, pinggangku sampai melengkung seolah mengekspresikan nikmat yang
amat sangat ini. Beberapa kali tubuhku tersentak sentak sampai akhirnya
melemas, kakiku yang melejang lejang terasa begitu pegal. Pak Agil masih
menggenjotku dengen bersemangat, dan aku yang sudah kelelahan hanya bisa
menggeliat lemah.
Satu hentakan keras batang penis yang amat keras itu
mengakhiri genjotan pak Agil pada vaginaku. Cairan hangat menyemprot dari penis
pak Agil, membasahi vaginaku yang sudah amat basah ini, pak Agil menggeram dan
tubuhnya bergetar getar, terlihat sekali ia amat puas. Pak Agil menarik
penisnya perlahan dari liang vaginaku, membuat dinding vaginaku rasanya digesek
perlahan oleh urat urat penis pak Agil.
Hal ini menimbulkan sensasi tersendiri, dan aku mendesah
perlahan. “kenapa non? Masih belum puas? Nanti jangan pulang dulu non, kita
lanjut lagi ke babak kedua, sekalian sama bu Elvira”, kata pak Agil. Mendengar
kata katanya ini, aku terkejut dan mendorongnya. “Pak Agil, jangan macam macam
ya. Sudah cukup sampai di sini! Memangnya kenapa saya harus menuruti dan
melayani pak Agil!”, kataku sedikit membentak.
“Karena non pasti tak ingin celana dalam non ini saya
berikan pada orang orang di luar sana kan?”, dengan santai pak Agil memegang
celana dalamku, lalu dengan gaya menjijikan pak Agil menghirup bau celana dalamku.
“mmm harumnya..”, guman pak Agil.
Aku hanya bisa memandang marah padanya, tapi aku tahu mau
tak mau aku harus menuruti kemauan tukang sapu sialan ini daripada aku jadi
bulan bulanan mereka yang biasa berjualan di luar. Pak Agil dengan senyum
kemenangan menyodorkan penisnya ke wajahku, dan aku mengulum dan menjilati
penis itu dengan kesal.
Ingin rasanya kugigit saja penis yang sedang kukulum ini,
tapi aku tak berani melakukannya. “Jadi nanti saya harap saya bisa menemukan
non di ruang ganti ini waktu semua orang sudah pulang. Non mengerti kan siapa
yang akan rugi kalau non sampai berani pulang duluan?”, kata pak Agil santai
sambil menikmati hisapanku pada penisnya.
Setelah puas ia meninggalkanku sendirian, dan aku termenung
beberapa saat, lalu memakai sisa pakaianku tanpa celana dalam. Kini aku hanya
bisa berharap hari ini cepat berlalu. Suara musik di depan sudah berhenti,
latihan balet sudah selesai. Aku segera keluar dan berpapasan dengan teman
temanku yang sudah menghambur ke ruang ganti.
Di luar aku duduk termenung di kursi panjang tempat Cie
Elvira minggu lalu digarap oleh pak Agil. Aku pasrah menunggu nasib. Cie Elvira
tiba tiba menghampiri dan mengejutkanku, “Liza, kamu kok tidak pulang saja
sekarang?”. Aku hanya tertunduk, dan ketika cie Elvira duduk di sebelahku, aku
berbisik pada cie Elvira tentang apa yang terjadi padaku di ruang ganti tadi.
“Dasar bandot sialan”, cie Elvira menghentakkan kakinya ke
lantai dengan marah. Cie Elvira makin kesal ketika aku mengatakan tadi pak Agil
juga berencana mengajak cie Elvira untuk babak kedua nanti. Tapi kami berdua
tak bisa berbuat apa apa, hanya bisa menunggu dengan kesal. Tapi sejujurnya,
ada sebersit perasaan terangsang yang melandaku, ketika aku memikirkan harus
menyerah pasrah pada pak Agil itu.
“Liza, maafin cie cie kamu jadi terlibat sejauh ini. Semua
juga gara gara minggu lalu kamu terpaksa harus melihat cie cie yang sedang main
gila dengan bandot sialan itu sekarang cewek baik baik seperti kamu harus
menanggung dosa seperti cie cie”, kata cie Elvira sedih.
“Nggak cie, Liiza bukan cewek yang suci suci amat kok”,
kataku berusaha menghibur cie Elvira. Aku menceritakan sekilas tentang
keadaanku, tentu saja dengan suara yang pelan dan memastikan tak ada teman
temanku di sekitar kami yang bisa mendengar. Cie Elvira tertegun mendengar
semuanya, pengalaman seksku di sekolah, di rumah, di rumah temanku Jenny, juga
di villa.
Rambutku dibelai oleh cie Elvira yang terlihat amat prihatin
pada nasibku. “Liza, tadi, cie cie menyedot habis sperma si bandot itu, cie cie
berusaha mencegah kamu sampai dihamili oleh tukang sapu yang tak tahu diri itu,
Liza”, wajah cie Elvira bersemu merah ketika mengatakan hal ini. “Untungnya
kamu sudah minum pil anti hamil, Liza”, sambung cie Elvira yang menundukkan
mukanya dan tesipu malu.
Aku teringat kejadian tadi, aku menjadi sangat malu,
terutama karena aku amat menikmati saat saat cie Elvira mencucup cairan cintaku
yang bercampur dengan sperma pak Agil tadi. Dengan wajah yang terasa sangat panas,
aku memeluk cie Elvira dan berkata, “Cie cie, nggak usah kuatir, aku udah minum
obat anti hamil kok.”. Setelah itu semua teman temanku berpamitan pulang pada
cie Elvira.
Begitu ruangan ini kosong, pak Agil masuk menghampiri kami
berdua yang menatapnya dengan kesal tanpa daya. “Kurang ajar kamu itu Gil.
Belum cukup apa kamu gituin saya?”, bentak cie Elvira. Pak Agil tertawa tawa
dan mendekatiku, tiba tiba tangannya merangsek ke selangkanganku melewati rok
yang kukenakan. Dengan tepat salah satu jari tangannya melesak masuk ke liang
vaginaku, mengaduk aduk liang kenikmatanku dengan kasar.
“Oooh…”, aku mengerang menahan sakit yang bercampur nikmat
ini. “Masa saya kurang ajar bu? Murid ibu yang memang rela kok, buktinya dia
nggak pakai celana dalam, dan memeknya sudah becek seperti ini”, pak Agil
berkata sambil mencabut jari tangannya dari liang vaginaku, membuatku sedikit
menggeliat, rasanya amat nikmat ketika bagian dalam vaginaku ikut terseret
keluar ketika jari itu tercabut lepas.
Ia mempertontonkan jari tangannya yang sudah becek sekali
berlumuran cairan cintaku. Aku membuang muka, malas aku melihat muka orang yang
buruk rupa ini yang kini sudah berkuasa atas tubuhku. “Bu, kok masih belum buka
bajunya? Jangan malu malu di depan murid ibu lah, kita kan sudah biasa
mengarungi surga dunia bersama sama?”, kata pak Agil sambil kembali menancapkan
jari tangannya ke liang vagnaku, dan ia mulai melanjutkan aktivitasnya mengaduk
aduk liang vaginaku dengan jarinya.
“Kamu…”, cie Elvira tak bisa meneruskan kata katanya, hanya
memandang marah pada pak Agil, sementara aku mulai larut oleh permainan jari
tangan pak Agil di vaginaku. Tubuhku sesekali mengejang, dan aku memandang sayu
pada cie Elvira, yang membalas tatapanku dengan pandangan aneh seperti tadi.
Oh.. apakah cie Elvira akan…?
Dugaanku benar, tiba tiba cie Elvira mendekatiku, dan dengan
nafas yang memburu cie Elvira tiba tiba memagut bibirku. Aku benar benar
kelabakan, perasaan aneh yang menjalari tubuhku ditambah sensasi adukan jari
tangan pak Agil pada liang vaginaku, benar benar membuatku kehilangan kontrol
atas diriku.
Tanpa sadar aku memeluk cie Elvira dan membalas pagutannya
dengan tak kalah bernafsunya. “Lho lho… kok malah asyik sendiri toh kalian?”,
ejek pak Agil pada kami yang masih saling berpagut. Kami tak memperdulikan
ejekannya, dan ciuman kami makin hot saja seolah saling tak ingin melepaskan.
Lidahku dan lidah cie Elvira saling bertautan dan mendesak ke mulut lawan
ciuman, pelukan kami juga makin erat.
Tiba tiba pak Agil kembali mengeluarkan jari tangannya dari
liang vaginaku, lalu ia menyusup duduk di antara aku dan cie Elvira. Aku
melihat celana dalam cie Elvira dilorotkan oleh pak Agil. Dan pak Agil mulai
bergantian menyedot dan mencucup cairan cinta dari vaginaku dan vagina cie
Elvira, membuat kami berdua mulai melenguh tak tahan dilanda kenikmatan ini.
“Ohh.. cieee…”, aku mengerang keenakan, sementara cie Elvira
juga kelihatan terangsang berat, sesekali ia melenguh, “ngghhh.. Lizaa..”.
tubuh kami berdua bergetar getar, akhirnya setelah disedot entah yang ke berapa
oleh pak Agil, aku terbeliak, nafasku tertahan, tubuhku mengejang hebat.
Aku orgasme di pelukan cie Elvira, yang malah dengan ganas
mencumbuku, membuat aku semakin tenggelam dalam nikmatnya orgasme yang makin
menggelegak ini. Keringatku mengucur membasahi bajuku. Kurasakan cairan cintaku
membanjir tapi kelihataanya semua ditelan habis oleh pak Agil yang masih saja
mencucup mulut vaginaku.
Aku dan cie Elvira saling melepaskan pelukan dengan nafas
yang tersengal sengal, dan cie Elvira hanya pasrah saat tubuhnya dibaringkan
oleh pak Agil di kursi panjang, dan pak Agil melepas celananya, siap untuk
bertempur.
Kini dengan bernafsu pak Agil mulai menggenjot cie Elvira
yang masih memakai baju lengkap kecuali celana dalamnya yang sudah terlepas
dari tadi. Aku duduk lemas memandangi mereka berdua yang sedang berpacu menuju
orgasmenya. Aku tak pernah menyangka, cie Elvira yang biasanya terlihat alim
itu kini begitu liar dan larut dalam persetubuhannya dengan tukang sapu di
sekolah balet ini.
Cie Elvira terlihat begitu menikmati saat saat vaginanya
dipompa habis habisan oleh pak Agil, ia melenguh dan menggeliat keenakan,
sesekali menjerit menahan nikmat yang melandanya. Tak lama kemudian cie Elvira
orgasme, tubuhnya tersentak sentak di bawah tindihan pak Agil yang ternyata
juga mengalami orgasme.
Pak Agil menggeram, tubuhnya bergetar, dan ia mengerang,
“ooooh… bu Elviraaa…”. Pak Agil sempat berkelojotan beberapa saat, dan penisnya
ditusukkan dalam dalam pada liang vagina cie Elvira. Mereka berdua mereguk
kenikmatan itu bersamaan, dan pak Agil jatuh tergeletak di lantai dengan nafas
ngos ngosan.
Cie Elvira sendiri masih terbaring lemas di kursi panjang
itu, tubuhnya bergetar getar, dan cairan putih kental meleleh dari mulut vaginanya.
Nafas dan desahan cie Elvira sesekali terdengar mengeras, bajunya basah oleh
keringat. Kami semua diam dan beristirahat sebentar, dan aku melihat jam
menunjuk pukul setengah delapan malam.
Beberapa menit kemudian, pak Agil berdiri, ia memandangi cie
Elvira yang sudah mulai sadar dari orgasmenya. “Bu Elvira, sampai keringatan
gitu, gimana kalau kita mandi saja?”, tanya pak Agil dengan pandangan mesumnya.
Cie Elvira hanya pasrah saat pak Agil mengangkatnya berdiri dan setengah
menyeret cie Elvira ke kamar mandi di sekolah balet ini.
Aku bingung tak tahu harus berbuat apa. Tapi saat pak Agil
akan menghilang ke pintu kamar mandi, ia memanggilku, tentunya dengan gaya yang
amat melecehkanku. Jari telunjuk kanannya diarahkan padaku, lalu ditekuk ke
arahnya beberapa kali seolah memanggil seorang budak.
Dengan kesal namun penasaran apa yang akan terjadi dengan
cie Elvira, aku mengikuti mereka masuk. Di dalam aku melihat pak Agil yang
sudah telanjang bulat, sedang menanggalkan baju cie Elvira satu per satu. Cie
Elvira sempat menahan tangan pak Agil ketilka hendak menanggalkan bra merah
mudanya, tapi , hingga tubuh cie Elvira yang putih mulis kini sudah polos tak
tertutup apapun.
Ikat rambut cie Elvira dilepas oleh pak Agil, hingga rambut
cie Elvira tergerai melewati bahunya. Cie Elvira terlihat makin cantik saja,
dan hal ini entah kenapa membangkitkan gairahku. Pak Agil menyemprotkan air
dari selang yang dipasangnya di kran kamar mandi itu ke tubuh cie Elvira. Entah
dinginnya air yang membasahi tubuh cie Elvira, atau belaian pak Agil yang
membuat tubuh cie Elvira menggigil…
Pak Agil membasahi seluruh tubuh cie Elvira, dan dengan
lembut ia membelai sekujur tubuh cie Elvira yang hanya memejamkan matanya. Pak
Agil mulai menyabuni tubuh cie Elvira, perlahan dari pundak, punggung, pantat,
lalu beralih ke depan, mulai dari dada dan kedua payudaranya. Sesekali pak Agil
meremas lembut kedua payudara cie Elvira, dan cie Elvira mendesah pasrah.
Cie Elvira bahkan mengangkat kedua lengannya yang sudah
selesai disabuni, dan pak Agil menyabuni ketiak cie Elvira. Setelah bagian atas
selesai, pak Agil menyiram tubuh cie Elvira dengan penuh perhatian,
membersihkan semua sisa busa sabun yang masih melekat di tubuh cie Elvira.
Tentu saja itu dilakukan pak Agil sambil sesekali membelai dan meremas kedua
payudara cie Elvira, yang kembali hanya bisa mendesah dan menggeliat lemah.
Cie Elvira terlihat menikmati perlakuan pak Agil yang
melanjutkan menyabuni tubuhnya bagian bawah. Pahanya sedikit terentang, dan pak
Agil menyabuni selangkangan cie Elvira, yang mulai berkelojotan ringan dan
menjerit kecil ketika jari tangan pak Agil mengaduk aduk vaginanya. Pak Agil
mengeluarkan sisa spermanya yang ditembakkannya saat menyetubuhi cie Elvira
tadi, dan cie Elvira sampai harus berpegangan pada tembok selagi tubuhnya semakin
hebat menggeliat.
Siraman air yang disemprotkan deras pada vagina cie Elvira
oleh pak Agil, membuat cie Elvira tak tahan lagi, ia orgasme hebat dan melenguh
keenakan. “Eeenngggh…”, erang cie Elvira yang lalu mulai melemas, dan jatuh
terduduk di lantai. Pak Agil menyabuni paha dan betis cie Elvira, lalu menyiram
lembut sampai tak ada sisa busa sabun di sana, lalu mengeringkan tubuh cie
Elvira dengan handuk
Tiba tiba aku merasa ingin dimandikan juga. Tapi masa aku
yang meminta? Maka aku hanya diam, memandangi mereka berdua yang sedang asyik
ini dengan sedikit iri. Hah? Masa aku sudah separah ini, sampai menginginkan
diriku diperlakukan seperti cie Elvira? Aku berusaha meredam birahiku yang
makin tinggi ini.
Tapi ketika kulihat Pak Agil menyusu pada cie Elvira yang
mulai mendesah dan menggeliatkan tubuhnya, aku makin tak tahan, kurasakan
cairan cintaku mulai meleleh sedikit dari liang vaginaku. Aku benar benar sudah
terangsang, nafasku makin memburu. “Non Liza, ini yang sering bapak lakukan
sama bu Elvira. Kelihatannya non Liza juga kepingin ya?”, tanya pak Agil sambil
terkekeh.
Aku tak bisa menjawab, mukaku makin panas saja rasanya. Aku
pun membuang muka ketika pak Agil meninggalkan cie Elvira dan mendekatiku.
Sekarang pak Agil sudah memepetku di tembok, jantungku berdegup kencang menanti
apa yang akan terjadi padaku. Kudengar ia berbisik di telingaku, “mau saya
mandikan seperti bu Elvira, non Liza?”
Gilanya, tanpa bisa aku tahan, aku mengangguk lemah. Sadar
dengan apa yang baru saja kulakukan, aku memejamkan mata menahan malu yang amat
sangat ini. Pak Agil tertawa penuh kemenangan, dan mulai melucuti pakaianku.
Aku merasa tak ada harga diriku yang tersisa lagi di depan tukang sapu ini, dan
beberapa saat kemudian aku sudah telanjang bulat, dan aku dibawa ke dekat mulut
selang itu.
Ikat rambutku dilepas oleh pak Agil hingga tergerai bebas.
Aku sempat teringat, semua orang yang mengenalku berkata aku bertambah cantik
waktu rambutku tergerai seperti ini. Tapi ini bukan waktu untuk bernarsis ria.
Cie Elvira beralih ke tempat yang aman dari semprotan air, dan memandangiku
yang mulai dimandikan oleh pak Agil. Seluruh tubuhku dibasahi oleh pak Agil,
rasanya segar dan nyaman.
Sesekali aku menikmati belaian lembut oleh tangan pak Agil
pada leherku, pundakku dan kedua payudaraku. Ketika mulut vaginaku digesek
pelan oleh pak Agil, aku merintih pasrah, kubiarkan pak Agil melakukan apa saja
pada tubuhku yang sudah basah seluruhnya, lalu ia mulai menyabuni tubuhku.
Dimulai dari leherku bagian belakang ke depan, kemudian
punggungku digosoknya lembut dan melingkar ke depan. Aku sedikit menggeliat
ketika kedua tangan pak Agil yang menyabuni payudaraku sesekali meremas lembut.
Kedua ketiakku tak luput dari perhatian pak Agil, ia menyabuni keduanya sebelum
meneruskan ke arah perutku.
Merasakan sekujur tubuhku dibelai seperti ini, aku mulai
mendesah dan menikmati setiap rabaan tangan pak Agil, juga busa sabun yang
lembut ini menambah sensasi yang kurasakan. Perutku digosok oleh pak Agil
dengan sedikit ditekan, lalu memutar ke belakang, dan ketika sampai pada bagian
pantatku, pak Agil dengan nakal meremas keras, membuatku sedikit meloncat dan
menjerit kecil karena terkejut.
Siraman air dingin kembali mengguyur tubuhku, membersihkan
tubuhku dari busa sabun ini. Setelah itu, seperti cie Elvira tadi, pak Agil
mulai menyabuni daerah selangkanganku, dan mengorek ngorek vaginaku dengan jari
tangannya. Aku menggeliat dan menggigit bibir menahan nikmat diperlakukan
seperti ini. Semprotan air dari selang ke arah vaginaku membuat sensasi ini
makin dahsyat.
Hampir saja aku orgasme saat pak Agil menghentikan
semprotannya pada vaginaku. Aku mengeluh tapi untungnya pak Agil kembali
mengorek ngorek vaginaku, dan tak lama kemudian ia berhasil mengantarku menuju
orgasmeku. Tubuhku berkelojotan dan melemas, perlahan aku jatuh terduduk di
lantai yang basah ini.
Setelah menyabuni kedua kakiku dan betisku, pak Agil
menyemprotkan air membersihkan semua sisa busa sabun pada tubuhku ini. lalu aku
diangkatnya, dan didudukkan di sebelah cie Elvira. Tubuku yang basah kuyup
dikeringkan oleh pak Agil dengan handuk tadi. Lalu pak Agil menarik berdiri cie
Elvira, dan kaki kiri cie Elvira diangkat tinggi oleh pak Agil.
Kini vagina cie Elvira cukup terbuka, dan pak Agil
menancapkan penisnya ke liang vagina cie Elvira. Lalu pak Agil mulai menggenjot
cie Elvira, yang hanya bisa menggeliat lemah dan melenguh keenakan. Tiba tiba
samar samara kudengar ada bunyi HP. Aku memperhatikan sejenak, ternyata dari
luar. Aku segera berlari menuju arah bunyi itu, dan ternyata dari HPnya cie
Elvira.
Aku mengambil dan membawa HP itu masuk kembali ke dalam
kamar mandi tempat kami pesta sex, sambil membaca siapa peneleponnya. “Cie, ini
dari ko Johan. Gimana cie?”, tanyaku. Cie Elvira menatapku sayu sambil meminta
HPnya dariku, “Berikan.. pada cie cie.., Liza..”. Aku memberikan HP itu dan cie
Elvira segera menekan tombol jawab.
“Halo… iya sayang…”, cie Elvira mulai bercakap cakap dengan
ko Johan. Tentu saja kata kata cie Elvira terputus putus, karena pak Agil tak
menghentikan genjotannya sama sekali. Terlihat sekali cie Elvira berusaha
menjaga kewajaran gaya bicaranya, tapi tetap saja ia sedikit melenguh saat.
“Nggak… apa apa… sayang.. aku… ada di wc… kok… iyah.. aku agak telat..
pulangnya…”.
Aku teringat waktu aku digangbang kedua pembantu dan sopirku
di rumah dan kebetulan kokoku telepon, maka aku tahu apa yang sedang dirasakan
cie Elvira sekarang ini. Entah kenapa aku malah mulai terangsang melihat cie
Elvira yang sedang berjuang keras menahan lenguhannya. Kudengar keraguan dari
cie Elvira ketika ia mengucapkan “Iyah sayang… aku… aku juga… cinta kamu…”
Cie Elvira menutup HPnya, dan segera saja cie Elvira
melepaskan lenguhannya sejadi jadinya. “Ngggghhh… oooohhhh… aduuuuhhh…”, erangan
dan lenguhan cie Elvira memenuhi ruangan ini. Cie Elvira dilanda orgasme yang
amat dahsyat. Tubuhnya berkelojotan, sampai pak Agil tak kuat menahan sentakan
demi sentakan dari tubuh cie Elvira. Penisnya tertarik lepas karena tubuhnya
terdorong saat cie Elvira menggeliat hebat, dan terlihat cairan cinta cie
Elvira menetes netes dari mulut vaginanya.
Pak Agil berlutut dan mencucup vagina cie Elvira yang masih
bersandar di tembok. Cie Elvira terus mengerang dan melenguh, dan hal ini malah
membuatku menjadi liar. Tanpa memperdulikan martabatku yang aku rasa memang
sudah hancur ini, kudorong pak Agil hingga roboh, lalu penisnya yang masih
tegak mengacung itu kududuki hingga tertelan oleh vaginaku.
Aku mulai menaik turunkan tubuhku yang masih basah ini,
hingga vaginaku terpompa penis itu. Pak Agil agak kelabakan dan mengerang
ngerang. Cie Elvira tak tinggal diam. Ia menduduki muka pak Agil hingga
vaginanya tepat ada di atas mulut pak Agil. “Gil, ayo jilatin punyaku”, perintah
cie Elvira. Kini pak Agil kewalahan menghadapi keliaran kami berdua. Aku dan
cie Elvira seolah berlomba mencapai orgasme.
Tentu saja aku yang menang, karena vaginaku dipompa oleh
penis pak Agil, sementara vagina cie Elvira hanya dijilatin saja. “Eeenngghhh…
“, aku melenguh dan tubuhku berkelojotan di atas pak Agil, yang ternyata juga
orgasme bersamaan denganku. Pak Agil menggeram dan sempat meracau ketika cie
Elvira sedikit mengangkat badannya.
“Ooohhh.. memang punya non Liza ini… paling enaaak… lebih
enak dari punya non Veraa”, pak Agil meracau, membuat aku dan cie Elvira saling
pandang. Kurasakan penis pak Agil berkedut dan menembakkan cairan hangat di
dalam liang vaginaku. Aku agak melemas, dan menarik lepas vaginaku dari tusukan
penis pak Agil yang mulai loyo.
Cie Elvira yang masih belum orgasme, segera mengubah
posisinya jadi 69. Cie Elvira membungkukkan badannya, dan mulai menghisapi
penis pak Agil dengan gencar, membuat pak Agil mengerang ngerang dan
berkelojotan, tapi cie Elvira tak perduli. Aku melihat semua itu dengan birahi
yang perlahan kembali naik, tapi aku hanya melihat saja apa yang sedang
dilakukan cie Elvira.
Kata kata pak Agil tentang Vera tadi juga membayang di pikiranku.
Oh.. ternyata selain cie Elvira, Vera juga jadi pemuas nafsu seks pak Agil ini
sebelum aku juga terlibat. Tapi pemandangan di depanku terlalu indah untuk
kulewatkan dengan melamunkan hal itu. Cie Elvira dan pak Agil saling memuaskan
pasangannya dengan gaya 69, dan akhirnya cie Elvira orgasme duluan.
“Ohh… aduuuuh…”, erang cie Elvira, tubuhnya kembali berkelojotan.
Cie Elvira duduk lemas di sebelah pak Agil, dan aku berpikir, mungkin kali ini
aku dan cie Elvira bisa bekerja sama mengalahkan pak Agil ini. Aku segera
menggantikan cie Elvira menghisap penis pak Agil, yang mulai mengerang kembali,
makin lama makin keras.
Aku tak tanggung tanggung lagi menghisap penis pak Agil ini.
Kujilati memutar, kucucup perlahan dan saat penis itu sudah mengeras kembali,
aku memasukkan ke dalam tenggorokanku dalam dalam. Pak Agil melolong keenakan,
tapi jelas sekali staminanya sudah terkuras. Ia hanya pasrah saja saat aku
terus melakukan deep throat ini, sampai akhirnya penisnya berkedut dan
menyemburkan spermanya.
Aku melepaskan kulumanku pada penis pak Agil yang kini sudah
terengah engah seperti baru saja berlari maraton. Cie Elvira dengan iseng
kembali menghisap penis pak Agil yang sudah loyo itu, membuat pemiliknya sampai
memohon mohon supaya cie Elvira dan aku menghentikan semua ini. lho? Kok ganti
kami para cewek ini yang memperkosa pak Agil?
Tapi cie Elvira tak perduli, ia terus memaju mundurkan
kepalanya, sementara pak Agil terus memohon supaya cie Elvira menghentikan
hisapannya. Beberapa saat kemudian, pak Agil mengerang ngerang dan melemas,
rupanya pak Agil kembali mengalami ejakulasi. Wajahnya memucat, ia terlihat
semakin lemas dan kelelahan.
Cie Elvira melepaskan kulumannya pada penis pak Agil, dan
memberiku tanda untuk melanjutkan. Aku segera maju menggantikan cie Elvira, dan
ketika pak Agil memohon mohon padaku agak aku menghentikan hisapanku, kupakai
kesempatan ini untuk meminta kembali celana dalamku. “Begini saja pak,
kembalikan celana dalam saya, maka saya akan menghentikan semua ini”, kataku
memberikan tawaran pada pak Agil.
Pak Agil segera menjawab, “Iya non, bapak kembalikan. Ambil
saja di gudang sebelah kamar mandi ini, bapak taruh di dalam tas coklat besar”.
Mendengar ini, aku pamit pada cie Elvira untuk ke gudang yang dimaksud pak
Agil, dan memang di sana kutemukan tas coklat seperti kata pak Agil tadi.
Kubuka tas itu, kuambil celana dalamku dan kusimpan dalam tasku sendiri yang
tergeletak di kursi panjang itu.
Lalu aku masuk kembali, dan kulihat cie Elvira sedang
menghisap pak Agil. Ketika melihatku, cie Elvira menghentikan sejenak
hisapannya, dan bertanya padaku, “Gimana Liza, sudah kau temukan?”. Aku
mengangguk sambil tersenyum, dan cie Elvira melanjutkan hisapannya kembali,
membuat pak Agil yang sudah amat lemas itu mengerang lemah, nafasnya makin ngos
ngosan.
Setelah beberapa menit, tubuh pak Agil berkelojotan, dan cie
Elvira terus menghisap sampai tak ada lagi sperma yang tertinggal di penis pak
Agil. Barulah setelah itu, cie Elvira berdiri dan berkata pada pak Agil, “Ini
bayaranmu Gil karena berani mengganggu murid kesayanganku”. Pak Agil hanya
diam, spermanya yang sudah diperas habis oleh kami berdua membuatnya amat
lemas. Aku dan cie Elvira saling tersenyum, kemudian kami menyempatkan untuk
mandi bersama karena tubuh kami kembali berkeringat setelah melakukan pesta sex
ini.
Aku dan cie Elvira saling memandikan dan menyabuni tubuh
kami masing masing, tanpa larut dalam nafsu birahi. Kami memang bukan lesbian,
tadi itu hanya letupan gairah yang luar biasa yang membuat kami berdua
melakukan ciuman maut seperti itu. Setelah saling mengeringkan tubuh, kami
segera berpakaian, lalu tanpa perduli kami keluar meninggalkan pak Agil yang
masih tergolek lemas tak berdaya di lantai kamar mandi ini.
“Cie, Liza pulang dulu ya”, aku pamit pada cie Elvira yang
tersenyum manis padaku dan menjawab, “Iya Liza, cie cie juga mau pulang kok.
Masa mau di sini terus menemani bandot sialan itu?”. Aku dan cie Elvira tertawa
geli, mengingat tukang sapu itu sudah kami taklukkan. Hatiku senang sekali,
rasanya aku dan cie Elvira makin akrab saja. Selain itu, besar harapanku bahwa
pak Agil tak akan mengulangi perbuatannya hari ini terhadapku pada minggu depan
dan seterusnya.
Kami keluar dari sekolah balet ini saat jam menunjuk pukul
9. Beberapa abang becak yang mangkal di sekitar situ agak heran melihat kami
berdua, mungkin mereka bertanya tanya ngapain aja dua cewek cantik ini dari
tadi di dalam… Tapi aku dan cie Elvira tak perduli. Kami masuk ke mobil dan
pulang ke rumah masing masing. Di dalam perjalanan pulang aku kembali teringat
akan Vera, dan menduga duga, sejak kapan ya Vera jadi budak seks pak Agil?
Sampai di rumah, aku berharap tak masih harus jadi bulan
bulanan pak Arifin, Wawan dan Suwito seperti minggu lalu. Untungnya aku melihat
mobil ortuku dan kokoku ada di rumah dan kebetulan sekali kokoku ada di garasi
sedang mengutak atik mobilnya. Jadi para pembantu dan sopirku tak berani macam
macam untuk mengerjaiku. Aku menyapa kokoku yang juga menyapaku balik. Kokoku
pasti tak tahu betapa aku berterima kasih padanya yang ‘menyelamatkanku’ dari
kemungkinan digangbang oleh mereka ini
Aku segera masuk ke dalam. Kedua ortuku sudah beristirahat
di dalam kamarnya, dan aku segera naik menuju kamarku di lantai dua. Di
kamarku, aku segera berganti baju tidur karena tadi sudah mandi di sana. Lalu
aku mengistirahatkan tubuhku yang telah berkali kali orgasme di sekolah balet
tadi. Rasanya nyaman sekali. Cepat sekali aku tertidur pulas, malas memikirkan
kejadian apa lagi yang akan menghiasi kehidupan seksku ini.