Minggu, 30 Juli 2017

ELIZA 06-1 : kisah ci elvira

“Stanley… jangan jauh jauh dari cie cie”, aku setengah berteriak mengingatkan Stanley yang terus berlari ke arah lain dari tempat duduk kami di kereta api. Aku terpaksa mengejarnya, kuatir kalau ada apa apa dengan sepupu kecilku itu. Keluargaku dan keluarga Suk Sing sudah terlelap ketika tadi Stanley membangunkanku minta ditemani ke toilet.

 Ketika selesai, aku masuk ke toilet sebentar untuk mencuci muka, dan waktu aku keluar, aku melihat Stanley berlari ke arah gerbong yang salah dan begitu cepat menghilang dari pandanganku, memaksaku untuk berlari lebih cepat. Seorang pedagang asongan nyaris kutabrak ketika aku berlari memasuki gerbong kelas ekonomi, tempat yang sangat sangat asing bagiku.

 “Non.. hati hati, kalo gue jatuh gimana?”, pedagang asongan itu mengingatkanku. “Maaf pak, saya buru buru, mencari sepupu saya”, aku meminta maaf dengan sopan, lalu segera melanjutkan mencari Stanley. Beberapa gerbong kulalui, sampai akhirnya aku tertegun saat menemukan seorang wanita cantik yang ternyata adalah Cie Elvira! Bukan karena menemukan Cie Elvira duduk di gerbong kelas ekonomi seperti ini yang membuatku tertegun, tapi pandangan Cie Elvira yang dingin menusuk terhadapku, murid kesayangannya di sekolah balet.

 Cie Elvira benar benar terlihat lain, seolah ini adalah sisi lain dari dirinya yang biasanya lembut dan harusnya menyayangiku seperti adiknya sendiri. “Cie… Cie Vira juga ke Jakarta?” tanyaku berusaha memecah kekakuan yang tak wajar ini. Tiba tiba aku merasa ada sebuah tangan yang menyusup dari bawah rokku dan meraba selangkanganku.

Belum sempat aku menoleh untuk melihat siapa pelaku kekurang ajaran ini, kedua tanganku sudah terentang, kedua pergelangan tanganku yang mungil dicengkeram erat oleh dua orang penumpang yang sudah berdiri dari tempat duduknya. Ketika kedua payudaraku diremas oleh beberapa tangan, aku mulai meronta panik menyadari keadaanku yang sudah dalam bahaya ini, sambil berusaha meminta tolong. “Cie Vira.. tolong Liza cie…”, aku memohon pertolongan, tentu saja kepada Cie Elvira, satu satunya orang yang kukenal di gerbong ini.

Tapi benar benar aneh, ia hanya mematung, sebuah senyuman sinis terukir di wajahnya. “Kalian buka roknya. Amoy sok cantik ini pasti memakai g-string. Aku sudah tau kalau dia ini amoy penggoda. Wajahnya saja kelihatan kalem dan baik baik seperti malaikat, tapi di sekolah kerjanya ngeseks dengan satpam dan tukang sapu. Paling di rumah juga ngeseks sama sopir dan kacung kacungnya”, kata cie Elvira dengan jahatnya. “Cie..?”, kata kata cie Vira tadi membuat aku memandangnya pilu tak percaya, tanpa mampu membantah apa apa karena memang begitulah kenyataanya.

Yang membuatku heran, darimana Cie Elvira bisa tahu semua itu? Lamunanku terputus ketika Cie Elvira dengan kejam melanjutkan kata katanya, “Lepaskan roknya. Kalau ternyata memang dia pake g-string, kalian langsung gilir dia ramai ramai di gerbong ini, keroyok juga boleh”. Celaka.. aku tak tahu apakah aku mengenakan g-string atau tidak.

Aku sudah akan menjerit, ketika orang yang melorotkan rokku ke bawah berkata, “Teriak saja lo, amoy cantik. Gak usah lu teriak juga kami pasti panggil orang orang di gerbong tetangga, berbagi kesempatan mencicipi tubuh non amoy yang putih mulus ini”.

 Aku sadar, tak ada gunanya lagi aku berteriak ataupun meronta. Maka aku hanya pasrah saja ketika mereka semua bersuit mengagumi keindahan selangkanganku yang memang terlapis g-string. Kaus tanpa lengan yang kukenakan ditarik dari berbagai arah hingga robek tercabik cabik. Kini aku hanya tinggal mengenakan bra tipis transparan dan g-string, dan mereka terlihat jelas sudah begitu bernafsu untuk melahap tubuhku ramai ramai. “Betul kan? Dasar lonte.


Dia kegatelan main seks sampai gak bisa bangun lagi, makanya pakai pakaian dalam yang menggoda kaum lelaki. Ya sudah, kalian perkosa saja perek ini habis habisan”, perintah cie Elvira dengan tanpa perasaan. Baru kali ini aku disebut lonte dan perek, dan itu dilakukan oleh orang yang aku kagumi, tanpa sadar aku menitikkan air mata, perasaaanku amat terluka.


 Aku sudah tak bisa bereaksi apapun ketika braku yang transparan terbuat bahan yang tak mudah robek itu direnggut paksa hingga tali talinya putus, sementara g-stringku dengan mudah ditarik putus hingga kini aku sudah tersaji polos di tengah kerumunan orang orang dari berbagai kalangan, sebagai budak seks mereka. Sebuah tikar milik seorang pengemis yang tak terlihat tua, dibeber di lantai gerbong ini, lalu pengemis yang sudah melepas celananya hingga telanjang di bagian bawah itu tidur di tikar itu dengan penis yang sudah mengacung tegak.

Beberapa orang memondongku dan mengangkat kedua pahaku ke samping kanan kiri, lalu membimbing tubuhku menindih pengemis itu, dan vaginaku mulai menelan penis yang lumayan besar itu. “Aduuh… sakiiit…”, aku mengerang, tubuhku menggeliat tapi mereka menekan tubuhku ke bawah hingga penis itu tertelan seluruhnya oleh vaginaku.


Rasanya sakit sekali karena selain belum adanya pelumas sedikitpun di liang vaginaku, proses penetrasi ini berlangsung begitu cepat. Kedua payudaraku langsung diremas oleh pengemis itu dengan kasar, hingga aku menggeliat kesakitan. Aku hanya bisa pasrah, perkosaan masal yang akan meluluh lantakkan tubuh mungilku ini sudah dimulai. Pedagang asongan tadi sudah membuka celananya, lalu menyodorkan ke mulutku. “Isep non amoy. Jangan coba coba menggigit, tahu sendiri akibatnya”, perintahnya penuh ancaman.


Aku tahu aku harus menurutinya, daripada ia nanti melukaiku. Kuhisap penis yang bau itu, mungkin pemiliknya tak mandi berhari hari, membuatku hampir muntah, tapi kutahan sekuatnya. Selagi aku disibukkan 2 penis yang sudah memasuki tubuhku, dua orang mengangkat tanganku, lalu memaksaku menggenggam dan mengocok penis mereka.

Aku menuruti semuanya tanpa membantah, walaupun air mataku terus mengalir. Hatiku amat pedih merasakan penghinaan ini, diperkosa ramai ramai di depan umum. Kurasakan ikat rambutku ditarik hingga rambutku tergerai bebas, tapi rambutku langsung ditarik oleh seseorang dari belakang, rupanya ia menggunakan rambutku untuk melibat penisnya, dan bermasturbasi.


Aku benar benar tak berdaya, dijadikan obyek pemuas nafsu seks mereka semua. “Nikmat ya, Liza? Kamu memang perek bermuka malaikat. Nggak heran banyak cowok yang mengejarmu, tapi mereka nggak tahu kalau kamu itu sebenarnya cewek bispak”, kata cie Elvira sinis ketika aku mulai merintih. Aku menangis tanpa suara mendapatkan hinaan demi hinaan dari cie Elvira yang entah kenapa begitu memusuhiku kali ini. Air mataku mengalir membasahi pipiku.


Penis yang ada di mulutku mulai berkedut, menyemburkan sperma yang kali ini bagiku tak terasa enak, malah memualkan. Tapi aku berusaha menelan semuanya, daripada nanti aku mendapat perlakuan yang lebih kasar oleh mereka. Penis itu kukulum dalam dalam, batang penis yang mulai loyo itu kusedot dan kujilat memutar, membersihkan sperma yang masih tertinggal. “Ooohhh. non amoy yang doyan peju! Semangat amat menelan pejuku.

Kalau begitu kalian semua lebih baik keluarkan peju kalian di dalam mulut non amoy ini. oooh.. enaaak…”, ia mengerang keenakan setelah selesai menghinaku, karena aku yang sudah tak perduli lagi terus menghisap dan mengulum penis itu sampai bersih.

 Yang lain tertawa tawa, dan pedangang asongan yang kurang ajar ini memberikan giliran pada yang lain, menggantikan penisnya yang sudah loyo. Kembali mulutku dijejali penis yang rasanya tak karuan, sementara kurasakan leher belakangku basah. Ternyata orang yang bermasturbasi di belakangku dengan menggunakan rambutku sudah ejakulasi, semprotan spermanya entah berapa banyak membasahi rambutku.

 Tiba tiba dua penis yang kukocok dengan tangan itu juga berkedut, kemudian menyemprot tanpa terkendali membasahi wajahku. Kedua mataku terkena semprotan itu, hingga mau tak mau aku harus memejamkan mata. Aku sudah tak tahu lagi, apa yang terjadi denganku. Bergantian mereka memuaskan nafsu mereka dengan pelayananku, satu ejakulasi langsung digantikan oleh yang lain. Wajahku sudah belepotan sperma, sementara rambutku sudah basah seperti keramas dengan sperma juga.

Keadaan tubuhku tak lebih baik, entah berapa banyak sperma yang sudah kutelan, dan kurasakan kedua payudaraku juga basah, entah oleh semprotan sperma langsung atau terkena tetesan sperma yang mengalir dari wajahku. Kurasakan penis dari pengemis yang menggenjot vaginaku dari bawah berkedut, membuatku sadar.

Kini aku sedang dalam masa subur, dan aku tak ingat kapan aku terakhir minum obat anti hamilku. Dalam kengerian yang amat sangat, aku meronta berusaha melepaskan diriku sebelum sperma pemerkosaku ini keluar di dalam rahimku. “Jangaaan… jangan di dalaaaam…. Aku tak mau hamiiil…”, teriakku begitu mulutku terlepas dari penis yang menyumbat erangan maupun suaraku sejak tadi. “Tahan tubuhnya! Jangan biarkan lonte ini melepaskan diri.

Biar saja lonte ini hamil, supaya tak terus terusan merusak rumah tangga orang! Ini bayaran untuk ulahmu yang sudah memikat suamiku”, seru cie Elvira dengan jahatnya. Semua membantu menekan tubuhku hingga penis itu tak mungkin kulepaskan dari vaginaku, dan ketika kurasakan semburan cairan hangat di liang vaginaku, aku menjerit pilu, “Cie Vira jahaaaat… apa salah Lizaaa…. Liza nggak pernah menggoda suami cie Viraaa….”.

Tak kuasa menahan gejolak emosi ini, aku pingsan tak ingat apa apa lagi. Entah berapa lama aku pingsan, sampai aku sadar dan mendapati diriku ada di kamar tidurku, mataku basah oleh air mata. Aku berusaha mengingat ingat, apa saja yang sudah terjadi pada diriku. Perlahan aku mulai sadar, hari ini adalah hari minggu, dan kemarin itu aku pulang jam 8 malam, lalu bercengkrama dengan keluarga.

Baru aku mengerti, jadi tadi semua itu adalah mimpi buruk. Sungguh mimpi yang aneh, makanya aku bingung, sejak kapan aku punya g-string? Juga, sejak kapan aku menggoda suami cie Elviira?? Aku memeriksa vaginaku, dan mendapati vaginaku begitu basahnya oleh cairan cintaku sendiri. Dengan panik aku mengorek vaginaku sendiri untuk memeriksa apakah ada sperma di dalamnya, karena kalau ada kan berarti gawat.

Masa aku harus mengandung anak dari para pembantu atau sopirku? Satu-satunya hal dari mimpiku yang merupakan kenyataan adalah aku sedang dalam masa subur sekarang ini dan aku lupa minum obat anti hamilku.

Kalau sampai 2 pembantuku main gila seperti biasanya, membangunkanku dengan cara menyetubuhiku, aku kan bisa hamil? Untungnya aku tak menemukan adanya tanda tanda sperma di dalam liang vaginaku. Jariku yang basah kukulum sambil menghela nafas lega, aku baru teringat ada kedua ortuku di rumah. Para pembantuku itu tentu saja tak akan berani sembarangan.

Sudah sejak kepulanganku dari villa 2 minggu lalu, mereka tak bisa seenaknya minta jatah padaku. Kesempatan mereka mendapat pelayananku hanya saat aku di rumah sepulang dari sekolah, sampai kedua ortuku pulang dari rutinitas sehari hari menjaga toko.

Itu berarti antara jam setengah dua siang sampai jam setengah enam sore. Dan waaktu 4 jam ini bisa berkurang kalau aku sedang les privat bahasa Inggris dengan cie Stefanny di rumah, atau jika aku pulang telat karena mengikuti extra kurikuler bulu tangkis. Tentu saja mereka juga memperhitungkan, kokoku ada di rumah atau tidak, walau kadang mereka melakukan sembunyi sembunyi saat ada kesempatan, biasanya pagi hari di garasi saat aku akan berangkat ke sekolah.

 Tapi yang jelas sudah 2 minggu ini aku tidak pernah terbangun dengan vaginaku dalam keadaan tertancap penis penis para pembantu dan sopirku ini. Aku melihat jam, masih jam 5:15 pagi. Karena sudah sekolah pagi, aku terbiasa bangun jam segitu. Maka aku ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku ini.


Menyikat gigi, mandi sesegar segarnya, dan mencuci muka, membuat batinku lebih tenang setelah mengalami mimpi yang begitu mengerikan tadi. Aku merapikan rambutku, dan tak lupa minum obat anti hamil sebelum turun ke bawah. Di masa suburku ini, aku merasa obat anti hamil harus kuminum tiap hari, daripada nanti aku kebobolan saat sedang sial.

Berjaga jaga lebih baik daripada semuanya sudah terlambat, apalagi tadi aku mimpi buruk seperti itu. Di bawah, aku menemukan mamaku yang sedang menyiapkan makan pagi di dapur. Aku menyapa mamaku yang tersenyum padaku, dan membantunya sebisaku.


Rupanya mamaku memasak sup jagung, kesukaanku. Sambil membantu mamaku aku berpikir tentang aktivitasku hari ini. Pagi ini aku akan ke gereja, siangnya entah jalan jalan ke mana menemani Jenny yang ingin membeli kado ulang tahun buat teman sekelasnya waktu kelas 1 dulu, Irene. “El, di dapur jangan melamun, nanti bisa luka kalau gak hati hati”, mamaku mengingatkanku yang masih melamunkan mimpi itu, membuatku tersadar. “o… e.. iya ma”, kataku.


Aku segera menyibukkan diri, hingga sesaat aku bisa melupakan mimpi yang menyeramkan itu. banyak sekali jagung yang aku ambil bijinya, capai juga tanganku melakukannya. Tapi aku terus membantu mamaku dengan tulus.

Jam enam pagi, semua sudah selesai, sup jagung kesukaanku sudah terhidang di meja makan. Senang sekali rasanya, setelah mencuci tanganku sampai bersih, aku lalu ke atas sebentar membangunkan kokoku yang pasti masih mendengkur.

Usilku kambuh, aku mengambil gulingnya yang jatuh, lalu memukulkan ke tubuh kokoku yang masih tertidur pulas, hingga kokoku terbangun kaget, dan menggeram “Elizaa.. sudah gila ya, bangunin aku kayak gini?”. “Ko, nggak siap siap kuliah ya? Sudah jam 6 lebih nih!”, kataku. Kokoku segera meloncat bangun, pergi ke kamar mandi sambil berkata, “wah.. untung koko kamu bangunkan. Thanks me. Tapi awas ya, pukulan dengan guling tadi itu pasti kubalas”, seperti biasa, sok mengancam untuk membalas.

Mana tega dia pada adiknya yang cantik ini? pikirku sambil meleletkan lidah. “Makan pagi sudah siap ko, nanti langsung turun ya”, kataku meninggalkan kokoku ke bawah. “IYA”, seru kokoku yang sudah ada di dalam kamar mandi. Aku tersenyum geli, membayangkan bagaimana jengkelnya nanti kokoku kalau sadar hari ini hari minggu.

 Aku menyapa papaku yang sudah rapi, kami sempat mengobrol sebentar menunggu kokoku turun untuk makan bersama. Akhirnya kokoku turun dengan membawa tas kuliahnya, membuatku mati matian menahan tawa. “Minggu pagi gini mau belajar buat UAS di rumah teman ya Heng? Ke gereja dulu ya… masih sempat kan?” tanya papaku.


Kokoku melongo, kemudian melihat kalender. Ketika kokoku memandangku dengan gemas, tawaku pun meledak, dan ortu kami yang menyadari bahwa kokoku tertipu olehku juga tertawa. “Heng.. Heng.. sudah berapa kali masih juga tertipu sama mememu ini. Kamu memang kalah pintar kok sama mememu ya”, ejek mama yang disambung papa, “Masa sudah kuliah kalah canggih sama adikmu yang masih SMA ini?”, membuat tawaku makin meledak.

Kokoku hanya bisa diam memandangku dengan gemas dan terlihat menahan senyum kesal, dia pasti tak ingin lebih malu lagi kalau sampai tertawa, karena itu sama saja dengan menertawakan dirinya sendiri. Kami kemudian makan bersama, dan seperti biasa kami pergi ke gereja pagi pagi. Papa dan mama duduk di belakang, aku di depan dan kokoku yang menyetir. Aku kembali teringat mimpi tadi.


Masa iya aku ini pernah menggoda suami cie Elvira? Kami memang pernah bertemu, tapi rasanya kami cuma saling sapa, bahkan aku tak pernah ingat kalau kami pernah terlibat dalam pembicaraan sedikitpun. Ah.. ada ada saja. Mimpi yang aneh sekali. Aku memutuskan tak memikirkannya lagi, dan menjalani kegiatan hari ini seperti biasa.

Setelah pulang dari gereja, aku segera menyiapkan apa saja yang diperlukan untuk latihan baletku nanti dan membawa ke mobilku, karena aku pikir akan langsung ke tempat lathihan setelah menemani Jenny mencari kado. Setelah berpamitan pada papa mama dan kokoku, aku segera turun ke garasi.

Di sana, sudah menunggu pak Arifin, Wawan dan Suwito yang membuat jantungku agak berdegup kencang. Tanpa basa basi, mereka bertiga bergantian melumat bibirku dan seperti biasa, Sulikah berjaga kalau kalau keluargaku ada yang sedang menuju garasi. Aku hanya bisa membalas lumatan mereka, supaya ini semua cepat selesai.

Tubuhku digerayangi dan payudaraku diremas remas, kadang vaginaku ditekan tekan oleh jari mereka. Gairahku mulai naik dan aku melenguh pelan, rok yang kukenakan sudah terangkat sampai ke pinggangku, celana dalamku sudah melorot sampai ke paha.

Vaginaku yang sudah basah oleh cairan cintaku sendiri dikorek korek oleh mereka. Beberapa jari tangan mengaduk aduk vaginaku membuat aku dengan cepat sudah orgasme hebat. Kuatir aku melenguh tak terkendali, kupagut salah satu bibir dari mereka yang mengerubutiku ini.

Tubuhku mengejang keenakan dan akhirnya lunglai dengan kedua tanganku melingkar di leher pak Arifin di sebelah kiriku dan Suwito di sebelah kananku. Untungnya mereka tak bermaksud hendak menyetubuhiku, hanya ingin membuatku orgasme habis habisan seperti ini sebelum aku pergi. Aku kehabisan nafas dan tersengal sengal.

Mereka memakaikan celana dalamku kembali ke tempat yang benar, barulah mereka membiarkanku, anak majikan mereka yang sudah menjadi budak seks mereka ini, masuk ke mobilku, tentu saja setelah semua mendapat giliran melumat bibirku dan meremasi payudaraku.

 Tubuhku rasanya lemas sekali, dan aku masuk ke mobilku, dan duduk sebentar untuk menenangkan diriku yang masih dihantam gelombang orgasme yang dahsyat, sampai akhirnya aku mampu berpikir dengan tenang. Di dalam mobil, aku melihat dari kaca tengah, bajuku awut awutan, rambutku juga kacau karena tadi dibelai dan dimainkan dengan seenaknya oleh mereka, juga dihirup hirup baunya oleh mereka bergantian.

 Entahlah, rasanya tiap bagian dari tubuhku ini bagi mereka begitu menggairahkan untuk dinikmati kali ya? Kurapikan rambutku sebentar, juga sekalian bajuku yang kancingnya nyaris terlepas semua ini. Bahkan aku perlu membetulkan posisi bra yang menyangga payudaraku ini, letaknya sudah kacau dan amburadul akibat remasan remasan penuh nafsu tadi oleh mereka.

Dengan kesal bercampur birahi yang tinggi aku menatap mereka bertiga, namun aku tak bisa apa apa selain cepat cepat meninggalkan mereka. Di jalan, aku berusaha untuk berkonsentrasi penuh setelah barusan tadi dirangsang habis habisan sampai orgasme oleh sopirku dan dua pembantuku yang keranjingan itu. Butuh waktu lama sampai gairahku stabil dan menurun.

 Sesampainya di rumah Jenny, aku melihat ternyata Jenny sudah menungguku, maka kami segera berpamitan pada kedua orang tua Jenny. “Enaknya cari kado di mana Jen?”, tanyaku pada Jenny, yang setelah beberapa saat berpikir, menjawab, “Ke Tunjungan Plaza aja yah?”. Aku mengangguk dan segera menjalankan mobil ke arah sana. Dalam perjalanan, aku dan Jenny saling bertukar pengalaman pribadi kami selama liburan. “Jen, gimana kamu selama liburan? Liburan kemana?

Apa mereka masih terus melakukan itu?” tanyaku beberapa saat setelah kami mengobrol dan bercanda. Jenny terlihat merenung. “Aku di akhir tahun memang berlibur bersama ortu ke vila kami di Trawas, tapi sebelumnya itu El, setiap ada kesempatan aku harus melayani mereka berlima. Begitu ortuku pergi, aku harus siap diseret ke ruang kerja mereka, melayani mereka sampai mereka semua puas”, kata Jenny sambil sesekali menghela nafas.

 “Aku pernah mencoba ikut ortuku pergi, tapi aku mendapat ancaman keras dari mereka. Baiknya, ada 3 orang dari mereka yang pulang kampung, tapi yang tersisa justru Supri dan Umar, ingat kan kamu El gimana ukuran barang mereka berdua itu?”, Jenny menggeleng gelengkan kepalanya dan menghela nafas panjang mengakhiri ceritanya. “Aduh.. kamu nggak apa apa kan Jen?”, tanyaku kuatir.

Dua orang itu, tentu saja aku tahu betul ukuran barangnya. Tapi Jenny hanya mengangkat bahu dan berkata, “gimana ya.. sudah biasa sih, sakit sakit enak gitu. Terus, liburanmu gimana El? Apa kamu juga terus dikerjain sama sopir dan pembantumu itu?”. Aku mengangguk dan menceritakan semua pengalamanku, termasuk insiden dengan penjaga vila yang menghasilkan kenangan baru di villaku itu. Jenny menggeleng gelengkan kepalanya, “Ya ampun… penjaga vilamu yang tua itu Jen? Memangnya dia masih kuat gituan?”.


Aku dengan tersipu malu menjelaskan, “Awalnya sih pak Basyir itu gak seberapa juga ya, tapi.. malam itu dia pakai obat kuat Jen. Jadinya aku ya tak tahan juga, orgasme abis deh dibuatnya. Ada hampir satu setengah jam aku disetubuhinya habis habisan”. Tentu saja aku tak menceritakan pada Jenny, betapa aku dipermainkan pak Basyir sampai memohon mohon untuk dibuat orgasme, apalagi saat pulang aku malah tidak memakai celana dalam sejak selesai mandi pagi, bersiap memenuhi keinginan pak Basyir untuk menikmati tubuhku sebelum aku balik ke Surabaya. Jenny lalu berkata, “Kurang ajar banget yah tua bangka itu.


Ya udah deh El, jangan ngomongin ini lagi ah. Sebel deh, nasib kita benar benar buruk. Kok kita jadi sama dengan Vera, cewek bispak di sekul kita. Oh iya, nanti sebaiknya beli apa ya buat kado?”. Aku tak punya ide, dan menjawab, “Ya coba nanti kita lihat lihat di sana gimana? Pasti bisa ketemu yang bagus”. Jenny tersenyum dan mengangguk. “Jen, Vera yang kamu maksud tadi, Vera yang sekarang sekelas dengan kita?”, tanyaku hati hati. “Iya lah El. Aku sudah tau kelakuannya sejak kami sekelas di kelas 1. Vera itu suka pulang bareng om om, dan sudah 5 om yang berbeda yang aku tahu. Tapi.. sudalah.. kini rasanya kita nggak lebih baik deh dari dia”, Jenny menghela nafas panjang dan menunduk, kurasakan kesedihannya yang mendalam, membuatku ikut sedih juga. Sambil melajukan mobil, aku sempat berpikir tentang Vera.

BERSAMBUNG YA GUYS...BESOK DI LANJUTKAN LAGI