Aku membuka mataku, untuk melihat giliran siapa berikutnya. Sedikit beda dari kemarin, sekarang gilirannya Suwito, yang sudah mengambil posisi di selangkanganku, dan segera membenamkan penisnya ke dalam vaginaku yang masih sangat basah oleh cairan cintaku dan sperma Wawan.Aku hanya bisa menggeliat pasrah dibawah tindihan Suwito, yang dengan penuh semangat menggenjotku sepuas puasnya. Pak Arifin masih memainkan rambutku, yang menurutnya sangat indah. Tiba tiba aku teringat penis Wawan yang pasti masih belepotan sperma yang bercampur cairan cintaku. Entah apa yang mendorongku, tapi aku hampir tak bisa mempercayai bahwa itu adalah suaraku sendiri ketika aku memanggil Wawan, “Wan, sini aku oralin bentar”.
Bagaimana mungkin aku bisa seliar ini? Bahkan aku merasa sperma itu begitu enak dan gurih, apakah ini karena aku mulai ketagihan minum sperma? Mungkin saja, karena kini aku sudah tak sabar lagi menunggu Suwito orgasme, karena aku ingin segera menjilati dan menyedot sperma lagi. Maka setelah penis Wawan selesai kuoral sampai bersih, aku segera menggerakkan pinggulku menyambut tusukan demi tusukan Suwito, dan benar saja, tak sampai 10 menit Suwito sudah menggeram. Ingin aku memintanya keluar di mulutku, namun aku takut dianggap tidak adil karena tadi Wawan sudah keluar di dalam. Maka aku diam saja, membiarkan Suwito memuaskan hasratnya untuk menyemprotkan spermanya dalam liang vaginaku. Setelah kurasakan tak ada semprotan lagi, aku segera mendorong tubuhnya sampai penisnya terlepas dari jepitan liang vaginaku, dan buru buru aku berkata, “To, cepat sini…”.
Suwito pun segera menghampiriku, membenamkan penisnya ke mulutku, dan aku segera menyedot nyedot dengan memejamkan mataku, merasakan tetes demi tetes sperma yang teroleskan di lidahku. Rasanya nikmat sekali, asin dan begitu gurih.
Aku hanya diam menahan nikmat, ketika sendok kecil itu mengorek ngorek vaginaku dengan lembut, seolah menyendoki cairan cintaku dan sperma sperma dari Wawan dan Suwito. Setelah cukup lama, mungkin setelah vaginaku sudah tak terlalu becek lagi, pak Arifin berkata, “Non Eliza, non suka peju ya? Saya suapin peju mau ya?”. Aku dengan sedikit malu, mengangguk pelan, dan pak Arifin mulai menyuapiku dengan lembut seperti menyuapi anaknya yang sedang sakit.
Kembali aku merasakan sperma yang bercampur cairan cinta. Suapan demi suapan cairan yang gurih dan nikmat ini membuat aku tak begitu lapar lagi meskipun aku ingat aku belum makan pagi. Setelah jatahku habis, pak Arifin mulai bersiap menggenjotku, sambil bertanya, “Non Eliza, non mau nggak kalau nanti saya mengeluarkan peju dalam mulut non?”. Aku mengangguk senang, kemudian melebarkan selangkanganku selebar lebarnya, karena aku ingat penis pak Arifin ini berukuran raksasa. Kurasakan penis itu sudah mulai melesak sedikit, dan gairahku langsung naik cepat. Apalagi Wawan dan Suwito ikut menyusu pada payudaraku dengan remasan remasan kecil.
Penis itu seolah menancap begitu erat, sehingga ketika pak Arifin menarik penisnya, seolah vaginaku yang menjepit penisnya ikut tertarik, dan tubuhku terangkat sedikit. Namun ketika penis itu menghunjam, rasanya vaginaku serasa sedang dimasuki daging keras yang besar hingga sesak sekali. Tak sekeras punya Wawan memang, tapi masih keras untuk ukuran orang seumur pak Arifin. Dan cukup keras untuk membuat aku serasa melayang ke awang awing. Rasa nikmat ini akhirnya membuat aku orgasme, kembali kakiku melejang lejang membuat jepitan vaginaku pada penis pak Arifin makin erat, dan ini membuat pak Arifin kelabakan, penisnya berkedut kedut. Ia segera menarik penisnya lepas dari vaginaku dengan tergesa gesa, dan segera membenamkan penisnya dalam mulutku. Segera semprotan spermanya yang juga terasa asin dan gurih, membasahi kerongkonganku. Aku terus melahap sperma itu, menjilati dan mengulum penis itu hingga bersih. Aku sudah tak merasa lapar lagi setelah sarapan sperma dan cairan cintaku sendiri. Mereka bertiga akhirnya duduk mengatur nafas mereka yang masih memburu. Wawan yang paling duluan pulih, namun sesuai janji mereka, ini hanya satu ronde.
Tiba tiba Sulikah datang terburu buru sambil membawa celana dalam dan celana panjang satin pasangan baju tidurku. “Non, kakaknya non sudah pulang. Cepetan non, pakai ini dan kembali ke kamar non”, seru Sulikah agak panik. Aku juga ikut panik, segera memakai celana dalam dan celana panjang ini, kemudian berlari kembali ke kamarku. Yang lain juga segera memakai bajunya masing masing, kemudian segera keluar dari kamar tempat kami pesta sex barusan, seolah olah sedang bekerja seperti biasa.
Di sana sudah menunggu kokoku, yang membawakan aku nasi campur di dekat sekolahnya, kesukaanku. Yah, kebetulan deh. Aku kan belum makan pagi, cuma sarapan sperma dari mereka bertiga tadi. Aku memeluk kokoku senang, dan berkata, “thank you ya kokoku yang baik”. Kokoku tertawa dan menggodaku, “Iya me. Tapi baik kalau bawain makanan aja ya? Kalau nggak jadi nggak baik?”. Aku memukul lengannya manja, lalu kami makan bersama. Kami ngobrol kesana kemari, dan tak terasa akhirnya selesai juga kami makan.