Senin, 31 Juli 2017

ELIZA04 : DIRUMAH JENNY PART05

Pembantaian Itu Berlanjut


Jam sudah menunjuk pukul lima sore. Ini berarti sekitar setengah jam aku digenjot habis habisan oleh dua raksasa tadi. Tapi semangat para buruh yang bahagia ini masih menyala nyala. Kulihat Jenny sudah larut juga dalam keroyokan tiga buruhnya, mereka mempermainkan Jenny yang terus mengejang sampai akhirnya orgasme. “Hnnnggghh.. aaduuuuh… ooohhh..”, Jenny melenguh lenguh dan tubuhnya itu mengejang sexy. Ternyata Jenny mirip juga denganku kalau lagi orgasme, kakinya juga melejang lejang, tubuhnya sedikit tersentak sentak.



Ia juga melenguh sexy, melepaskan gejolak nikmat yang pasti sedang menjalari sekujur tubuhnya itu. Kini, si Boneng yang akhirnya kuketahuhi bernama Satrio, mengambil posisi di selangkangan Jenny, bersiap untuk melakukan penetrasi ke nona majikannya. Sementara dua buruh yang lain, meninggalkan Jenny dan mendekatiku. Oh.. ternyata mereka berdua menginginkan aku. Aku hanya bisa pasrah saat si tengkorak hidup yang ternyata bernama Rahman, sudah memposisikan dirinya di selangkanganku. Kuperhatikan penisnya yang kurus itu, panjangnya tak terlihat menakutkan bagiku. Lenguhan Jenny kembali terdengar, rupanya Satrio sudah mulai menggenjot tubuhnya. Entah mengapa, Jenny terlihat amat menggairahkan bagiku, ketika aku melihat tubuhnya yang mulai mengkilap karena berkeringat.



Sesekali tubuh Jenny yang mungil itu tersentak kecil, saat penis Satrio menghunjam dalam dalam hingga terbenam seluruhnya pada liang vagina Jenny. Erangan sexy dari Jenny itu pasti menyulut gairah lelaki manapun, sementara Jenny memandangku dengan sorot matanya redup dan sayu, menunjukkan kalau dia sendiri sedang larut dalam birahi. Entah kenapa jantungku berdegup kencang melihat tatapan mata Jenny itu. Tapi aku tak bisa lama lama melihat keadaan Jenny, karena si buntalan lemak yang ternyata bernama Harto itu, dengan bibirnya yang sumbing, sudah menubruk tubuhku yang telentang lemas di ranjang, dan dengan bernafsu sekali Harto memagut bibirku dengan bibirnya yang sumbing itu.



Oh.. aku ingin menjerit dan melarikan diri menghindar dari makhluk yang sangat menjijikan ini, tapi kakiku sudah direntangkan oleh Rahman, dan aku tak bisa berbuat apa apa ketika selagi Rahman melesakkan penisnya ke dalam liang vaginaku. Harto terus melumat bibirku dan melesakkan lidahnya mencari lidahku, hingga air liurnya yang bau, dan celakanya banyak itu, mengalir cukup deras ke dalam mulutku. Aku jadi gelagapan dan daripada tersedak aku terpaksa menelan air liur itu. Rasa air liurnya itu… tak perlu aku bahas lagi, menjijikkan tak karuan, membuatku ingin muntah. Tangan kananku terjepit perut gendut Harto hingga tak bisa bergerak, sementara tangan kirinya menahan kepalaku hingga aku tak mampu menggerakkan dan menolehkan kepalaku untuk menghindar dari terkamannya.


Dan ketika ia melihat tangan kiriku yang menggapai gapai seolah sedang mencari pegangan, dengan kejam pergelangan tanganku yang mungil ini dicengkramnya dan ditahan kuat kuat di atas kasur hingga aku tak bisa menggerakkan tangan kiriku lagi. Kini aku sudah tak berdaya dan hanya bisa pasrah, tapi herannya malah membuat aku merasakan sensasi yang membuat jantungku berdegup kencang. Perasaan tak berdaya ini membuat aku tanpa sadar menyerahkan diri sepenuhnya. Aku memejamkan mata, perlahan berusaha menikmati pagutan pada bibirku, karena bagiku merasa diperkosa adalah hal yang tidak menyenangkan. Daripada aku merasa tersiksa, mungkin lebih baik jika aku membiasakan diri dan menerima semua ini dengan rela. Lidahku mulai kutautkan pada lidah si sumbing ini.


Aku sempat melihat dari ekor mataku, Rahman melongo iri melihat apa yang terjadi di depan matanya, mungkin karena ia sedang melihat pemandangan yang langka baginya, ketika seorang amoy SMA sepertiku membalas cumbuan seorah buruh sumbing yang wajahnya tak karuan. Tapi sebuah kotak plastik kecil tempat menaruh kantung plastik untuk bungkusan sandal hasil produksi di home industi Jenny yang melayang dan mengenai kepala Rahman itu seolah membuatnya tersadar, dan Rahman menoleh ke arah pelemparnya. Umar tertawa ngakak, dan Rahman marah marah. “Enak enak liat amoy konak, kepala kena ginian”, omelnya sambil memegang kotak plastik itu, lalu membuang ke lantai dengan kesal. Kemudian Rahman memulai aktivitasnya kembali. Kedua kakiku diangkatnya dan ditumpangkan ke pundaknya, dengan ini sodokan penisnya akan terasa makin dalam. Rahman segera memompa penisnya, mungkin rasa kesal akibat ulah Umar tadi membuatnya menyodokkan penisnya dengan gencar.



Penis yang kecil itu mengaduk liang vaginaku yang penuh cairan cintaku bercampur sperma Supri, menimbulkan bunyi kecipak yang semakin menambah gairahku dan aku sudah bisa balas memagut bibir si sumbing ini yang tadinya amat menjijikan bagiku. Harto seakan tak puas puasnya melolohi aku dengan air liurnya, sementara aku harus menelan semuanya jika tak ingin mulutku penuh dengan air liur, apalagi sampai tumpah keluar dari mulutku, akan lebih menyusahkanku. Sementara itu aku hanya bisa sedikit menggerakkan pinggulku mencari kenikmatan lebih pada liang vaginaku yang sedang diaduk aduk oleh penis milik Rahman ini. Akhirnya si sumbing puas juga menciumiku. Ia duduk diam sejenak mengatur nafasnya yang tersengal sengal, perutnya terlihat naik turun mengikuti tarikan nafasnya, benar benar membuatku kembali merasa jijik. Setelah beberapa saat, Harto menaiki tubuhku, dan menindih payudaraku.


Ya ampun, gajah bengkak ini tak sadar apa kalau tubuhnya berat sekali? Nafasku sampai mulai sesak, dadaku tergencet sampai serasa gepeng. Ia menyodorkan penisnya yang sudah ereksi kencang itu ke hadapan wajahku, untuk mendapatkan servis oral dariku tentunya. Tapi ukurannya ini membuat ketawaku hampir meledak. Kecil sekali, mengingatkanku pada penis mungil milik pak Edy, wali kelasku yang bejat itu. Benar benar tak sesuai dengan tubuhnya yang besar hingga penis itu terlihat semakin kecil saja. Dengan menahan tawa, aku mulai mengoral penis mini ini.



Sementara itu, selangkanganku terasa makin nikmat dipompa oleh penis Rahman yang memang tak terlalu besar ini, tapi cukup untuk membuat aku sedikit melayang, apalagi dadaku dihimpit oleh pantat si gendut sumbing ini, yang awalnya mendatangkan rasa sesak, tapi lama kelamaan malah terasa sedikit nikmat. Rasa sakit kadang menjalar dari liang anusku yang tadi dibobol penis Umar. Rasa itu memang sedikit mengganggu, tapi malah mendatangkan sensasi tersendiri bagiku. Tanganku mencengkram sprei tanda aku sedang dilanda kenikmatan yang semakin memuncak. Akhirnya aku orgasme, tubuhku mengejang, namun tak ada sentakan sama sekali.



Tubuhku yang mungil ini tak bisa bergerak dihimpit gajah bengkak yang duduk di payudaraku, sementara kakiku yang tertahan di pundak Rahman hanya bisa melejang kecil. Cairan cintaku dan keringatku yang terus keluar sudah tak bisa membuat tubuhku terlihat lebih basah. “Ooooh… memeknya amoy.. memang nikmaaaat…”, Rahman meracau keenakan, mungkin karena otot liang vaginaku yang berdenyut denyut itu seperti memijat batang penisnya yang terbenam di dalam sana. Tubuh Rahman bergetar, ia menggeram dan menyemprotkan spermanya yang cukup banyak ke dalam liang vaginaku. Aku yang sudah larut sepenuhnya dalam birahi ini jadi lepas kontrol. Ketika Rahman menarik lepas penisnya dari liang vaginaku dan berjalan di samping ranjang tempat aku dilanda kenikmatan ini, aku menjangkau tangannya dan menarik ke arahku.



Kulumanku pada penis si Gendut kulepas, dan aku memandang Rahman dengan tatapan sayu, menariknya semakin dekat hingga ia terpaksa naik ke ranjang dengan dan menatapku dengan pandangan bertanya tanya. Aku menjawab dengan memegang penisnya yang masih belepotan spermanya sendiri yang bercampur dengan cairan cintaku, lalu aku menarik penis itu ke arah mulutku. “Oalah non… kalau doyan peju, bilang saja terus terang. Nih silakan menikmati pejuku”, kata Rahman melecehkanku, tapi aku sudah tak perduli lagi, atau lebih tepatnya aku merasa tak bisa menahan hasrat untuk mengulum penis yang basah itu.



Aku terus mengulum batang penis Rahman itu, dan sesekali kusedot dengan kuat, membuat Rahman mengerang keenakan. Setelah mencuci penis itu di dalam mulutku, aku melepaskan kulumanku. Lalu aku ganti mengulum batang penis Harto itu dengan penuh gairah. “Hahaha… Amoy kita yang satu ini doyan peju toh. Kalo gitu aku kasih minum peju yang banyak. Isep punyaku sampai keluar ya amoyku sayang”, kata Harto sambil tertawa tawa. Aku tak menanggapi kata kata yang merendahkan dan menghinaku itu, dan terus mengulum penis yang kecil ini. Kujilati memutar, dan kugigit kecil, kukulum kembali dan kusedot kuat kuat, membuat Harto mengerang keenakan, sampai akhirnya penis ini juga berkedut, menyemprotkan sperma yang kental sekali, paling kental dari yang pernah kurasakan di mulutku selama ini.



Rasanya tak terlalu gurih, cukup asin juga terasa agak asam. Aku terus melumat dan menjilati penis itu sampai bersih dari sperma, dan si gendut ini turun dari tubuhku dengan puas, lalu berjalan ke arah Supri dan Umar, dan duduk di dekat mereka berdua. Aku masih tersengal sengal, tapi aku kembali memperhatikan Jenny yang masih digarap Satrio yang menggenjot Jenny dengan kasar. Jenny sepertinya sudah di ambang orgasme, nafasnya mendengus dengus mengikuti irama batang penis yang sedang memompa liang vaginanya. Kedua payudara Jenny diremas remas oleh Satrio, dan terlihat Jenny menggeleng gelengkan kepalanya kuat kuat seolah tak kuasa menahan nikmat yang menerjang tubuhnya. “Hnnnggggghhhh… aaaaah… aduuuuuh….”, akhirnya Jenny takluk juga, ia melenguh lenguh keenakan ketika orgasme mendera tubuhnya. Tubuhnya tersentak sentak beberapa detik, sementara kakinya yang tertumpang di pundak Satrio melejang lejang.



Jenny sedang dalam puncak kenikmatannya, dan tubuhnya yang putih mulus dan indah itu melengkung hingga pinggangnya terangkat sexy, kepalanya menengadah ke belakang. Satrio yang terlihat begitu menikmati tubuh nona majikannya yang tadi sempat menghantamnya itu, tiba tiba menggeram tanda akan orgasme. “Uunnngggghhh… oooooh…”, Satrio melolong lolong dan tubuhnya bergetar hebat. Gerakan pinggulnya menunjukkan Satrio sedang menyemprotkan spermanya di dalam liang vagina Jenny, yang sudah tergeletak tanpa daya. Jenny terlihat kelelahan setelah orgasmenya yang hebat tadi. Setelah puas, Satrio menarik lepas penisnya dari liang vagina Jenny, dan menyodorkan penis yang belepotan sperma yang bercampur cairan cinta nona majikannya untuk dioral nona majikannya itu sendiri.



Jenny pasrah saja dan membuka mulutnya yang mungil, lalu ia mulai mengoral penis itu, mengulum dan menyedot, persis seperti yang kulakukan sampai pipinya kempot. Selagi aku asyik menonton, tiba tiba kurasakan kakiku direntangkan. Aku segera melihat siapa yang melakukan itu, dan ternyata Umar yang melakukan. Aku bergidik mengingat ia tadi menyodomiku, tapi saat kulihat penisnya, ternyata bersih. “Tenang non amoy yang cantik, sudah kucuci bersih kok. Kami memang nggak suka mengotori memek yang jadi jatah bersama. Sudah, nikmati saja non”, kata Umar yang kelihatannya menyadari apa yang menjadi kekuatiranku tadi. Ia terus merentangkan kakiku, dan mengambil posisi di selangkanganku. Aku dapat melihat penisnya, memang seperti dugaanku, mirip sekali dengan penis Supri. Bahkan batang penis ini juga menekuk ke atas. Aku terdiam dalam kengerian, mengingat rasa sakit yang begitu menyiksaku saat selangkanganku ditembusi penis Supri tadi. Jam dinding menunjuk pukul setengah enam sore, ketika kurasakan penis itu mulai menyeruak masuk mengisi liang vaginaku.


Tubuhku mengejang dan bergetar ketika rasa sakit mulai mendera selangkanganku lagi. Aku merintih perlahan, memejamkan mataku kuat kuat, namun akhirnya terbeliak ketika dengan hentakan yang keras penis Umar menghunjam seluruhnya dalam liang vaginaku. “Ooooonnggghhh… aaaaaaghh…” aku melolong kesakitan, walaupun harusnya liang vaginaku masih becek dan licin oleh sperma pejantan pejantan tadi yang juga bercampur cairan cintaku. Aku berusaha menahan sakit ini, berharap liang vaginaku segera beradaptasi terhadap tusukan penis raksasa ini. Sementara aku menggigit bibir menahan sakit, aku mendengar Jenny melenguh. Aku sempat menoleh dan melihat, ternyata Supri sudah menggenjot Jenny yang terus menggeliat dan sepertinya kesakitan. Namun kulihat kali ini, Supri berlaku lembut. Kemudian Supri membenamkan batang penisnya itu dalam dalam. Aku bisa merasakan betapa sesak rasanya liang vagina Jenny sekarang, sama seperti liang vaginaku yang penuh sesak terisi batang penis Umar. “Non Jenny, saya minta maaf ya, tadi sudah menodong non pakai pisau.



Abisnya non jadi galak gitu, pakai main hantam. Kalau tidak segera aku hentikan, ntar yang kena hantam non terus terusan kan bisa balas nyakitin non. Daripada terjadi hal yang gak enak gitu, dan aku sudah ingatkan Satrio tadi supaya nggak macam macam”, kata Supri sambil memandang ke arah Jenny yang hanya diam saja. “Kami juga berpendapat, non Eliza ini harus digarap sekalian, supaya tak melapor ke siapapun. Maaf ya non Eliza, kalau tadi kata kata kami kasar. Habis, non Eliza memang cantik sih, nggak kalah sama non Jenny. Sejak kami melihat non Eliza bulan Agustus lalu, kami semua sudah ingin mencoba servisnya non Eliza. Akhirnya hari ini kesampaian deh. Ya sudah, kita nikmati saja pesta sex ini ya”, kata Supri sambil mulai menggenjot Jenny dengan lembut, membuat Jenny mulai melenguh keenakan.



Aku sempat berpikir, kurang ajar memang mereka semua ini, memangnya kalau lihat amoy cantik, lalu boleh dipaksa untuk menservis mereka? Apakah aku yang salah jika aku ditakdirkan mendapat karunia wajah yang cantik serta tubuh yang indah? “Pak Satrio, tadi itu, maafkan Jenny ya, soalnya Jenny nggak mau ngeliat Eliza diginikan juga. Terima kasih ya pak Satrio tadi nggak balas nyakitin aku…”, tiba tiba kudengar suara Jenny yang membuatku tertegun. Tapi aku tak dibiarkan Umar untuk melamun lama lama, genjotannya yang kini juga menjadi lebih lembut, membuat aku juga mulai merasa nikmat, dan sodokan penis raksasa ini membuat aku mengejang menahan nikmat. Orgasme demi orgasme terus melanda kami berdua, membuat aku dan Jenny sudah setengah sadar dengan tubuh yang terkocok kocok dihentak hentakkan penis pejantan yang terasa memenuhi seluruh tubuh kami. Ya, kami serasa menjadi betina yang diperbudak para pejantan di tempat kerja mereka ini.



Tiba tiba, entah apakah ini sudah mereka rencanakan, bersamaan Supri dan Umar mengangkat tubuh amoy yang sedang menikmati orgasmenya, memeluk erat hingga kami berdua terangkat bangun dan terpaksa melingkarkan kaki kami ke pinggang pejantan kami. Tangan kami pun sama sama menggelayut ke leher mereka, dan dalam posisi ini kami kembali digenjot, kali ini lebih gencar. Dengan cepat aku dan Jenny dipaksa menggeliat akibat liang vagina kami berdua teraduk aduk penis raksasa pejantan kami. Aku dan Jenny melenguh lenguh bersahut sahutan, dan akhirnya orgasme mendera kami yang berada dalam pelukan pejantan kami. Kini aku dan Jenny sudah amat lemas. Dalam keadaan orgasme hebat, kami pasrah menunggu keluarnya sperma pejantan kami dalam liang vagina kami.


Entah dengan milik Jenny, yang jelas milikku sudah tak karuan rasanya, begitu becek dan mungkin sedikit bengkak. Beberapa saat kemudian, aku merasakan penis Umar berkedut, dan di dalam posisi ini, spermanya menyembur ke dalam liang vaginaku. Umar terlihat kelelahan juga, dan mengangkatku sedikit hingga penisnya itu terlepas dari vaginaku, dan kemudian ia menurunkan tubuhku ke ranjang. “Non Jenny… di dalam… atau di mulut…”, kudengar Supri menggeram dan dengan suara parau ia bertanya pada Jenny. “Di dalam sajaah… Supp…”, Jenny menjawab dengan suara yang mendesah sexy. Maka terlihat Supri mengejang dan gerakan pada selangkangan mereka yang menyatu menunjukkan betapa mereka berdua sedang dilanda kenikmatan yang amat sangat. Aku melihat campuran sperma dan cairan cinta yang mengalir keluar dari bibir vagina Jenny saat penis Supri sudah tercabut dari sana.

BERSAMBUNG, AGAK SABARAN YA