Senin, 31 Juli 2017

ELIZA04 : DIRUMAH JENNY PART03

Menuju Malapetaka

Aku bimbang antara mencari Jenny atau kembali saja ke kamar menunggunya. Akhirnya aku memutuskan untuk memberanikan diri untuk mencari Jenny ke dalam sana, toh selama ini mereka tak pernah berbuat macam macam. Lagian, aku kan cuma masuk sampai ke pintu, melihat apakah Jenny ada di dalam. Maka aku masuk membuka pintu itu, dan aku baru ingat kalau aku harus masuk lebih dalam untuk bisa melihat situasi ruang produksi itu. Ketika aku sudah di dalam, aku melihat pemandangan yang benar benar hampir membuat jantungku berhenti berdetak.


Empat orang laki laki yang bekerja di situ memang terlihat bekerja seperti biasa. Tapi dengan pandangan tak percaya, aku melihat Supri sedang menggenjot Jenny yang masih memakai seragam sekolah, walaupun Jenny sudah tidak mengenakan rok dan celana dalam yang sudah tercecer di lantai. Jenny terlihat begitu pasrah, tampaknya mereka sedang melakukan quicky sex, dan tak menyadari keberadaanku di tempat produksi ini.


Sementara empat orang yang sedang bekerja itu seperti tak perduli dengan persetubuhan yang dilakukan Jenny bersama Supri Seakan memang sudah takdir, tiba tiba angin bertiup begitu kencang dan membuat pintu di belakangku, satu satunya tempat untuk keluar dari tempat ini, tertutup keras, membuat mereka semua menoleh ke arahku. Tentu saja harusnya mereka menoleh ke pintu, tapi kini perhatian mereka semua tertuju padaku, terutama Jenny yang kulihat begitu pucat, mulutnya ternganga, tanpa mengeluarkan suara, matanya menatapku seolah tak percaya aku ada di sini.



Setelah beberapa detik, aku tersadar akan bahaya yang mengancamku sekarang ini. Aku berpikir kalau aku harus mencari bantuan, mungkin dari warga sekitar atau siapapun untuk menyelamatkan diriku, juga demi menyelamatkan Jenny. Dengan panik aku memutar handel pintu itu, entah kenapa kali ini rasanya sulit sekali terbuka, membuat semua sudah terlambat bagiku untuk menyelamatkan Jenny, apalagi menyelamatkan diri. Tubuhku yang mungil ini disergap oleh empat orang lelaki yang mengerikan ini, kedua tanganku sudah ditelikung ke belakang seperti polisi yang hendak memborgol penjahat tangkapannya. “Aduuuh… sakiiit…”, aku merintih kesakitan. Tentu saja tak ada yang perduli, dan mereka menggiringku masuk ke dalam, sambil meraba dan meremas payudara dan pantatku.



Aku hanya bisa meronta panik, namun jelas tidak ada artinya. Selain rontaanku memang tak begitu kuat karena rasa sakit yang mendera pangkal lenganku, seandainya aku tidak sedang ditelikung begini pun aku tahu tak akan sanggup berbuat banyak menghadapi para buruh yang sudah seperti kerasukan iblis ini. “Jangaan.. jangan temankuu.. lepaskan dia.. bajingan kalian semuaaa…. Jangan Eliza…”, Jenny yang berteriak panik meronta, berhasil melepaskan diri dari Supri yang tak terlalu konsentrasi mendekapnya, dan menerjang ke arahku yang sedang dalam cengkeraman empat orang buruh ini. Jenny dengan buas menghantam si gorila yang meremas payudaraku hingga begundal itu kesakitan, melepaskan remasannya pada payudaraku yang kanan sambil menyumpah nyumpah. Berikutnya aku sampai tertegun melihat Jenny sudah akan menghantam si tengkorak hidup yang meremasi payudaraku yang kiri ini.


Tapi tiba tiba tangan Jenny sudah ditahan oleh si gorila yang tadi dihantam Jenny pertama kali, kini sudah tertelikung dengan mudahnya, dan sebuah pisau yang biasanya digunakan untuk memotong tali pengikat karung, sudah menempel di leher Jenny. Supri menodongkan pisau itu dengan sikap yang mengancam sekali. “Jangaaan… kalian jangan lukai Jenny… baik… baik… aku menyerah. Tapi lepaskan pisau itu ya… tolong… jangan lukai Jenny… aku akan melayani kalian, sungguh…”, aku memohon dan mulai menangis ketakutan. Dalam kepanikanku, tadi aku berusaha memberikan penawaran sebagus mungkin, yaitu pelayananku yang otomatis juga berarti tubuhku, supaya mereka tidak mencelakai Jenny. “Tolong… lepaskan Eliza.. dia gadis baik baik, masih perawan.. jangan rusak dia.. cukup aku saja… tolonglah…”, Jenny kini menangis tersedu sedu, dan berkata di antara isak tangisnya. “Jen, nggak apa apa Jen, aku sudah nggak virgin kok Jen”, aku berkata lemah. Jenny memandangku tak percaya, sementara lima orang yang menguasai kami ini tertawa menjijikkan. “Wah jaman sekarang ini memang susah ya cari amoy perawan.



Tapi gak apa apa, yang ini.. siapa namanya tadi? Eliza? Kamu cantik sekali, nggak kalah sama anak majikan kami”, kata Supri sambil mencolek daguku, membuatku hampir muntah betulan sangking jijiknya. Sudah wajah amburadul gitu, masih bisa bisanya dia menghinaku. Memangnya dia itu siapa sih? “Teman teman, sekarang waktunya pesta amoy dulu. Ayo cepat kita mulai, waktu kita tidak banyak, kira kira jam setengah tujuh malam nanti majikan kita sudah pulang, dan kita akan lembur selesainya acara pesta amoy ini, supaya bos tetap puas dengan kerja kita”, sambung Supri dengan gayanya yang menjijikkan, mungkin ia yang paling berkuasa di antara para buruh ini. “Eliza.. maaf ya… Aku harusnya tidak mengajakmu menginap hari ini, maafkan aku ya Eliza”, kata Jenny yang terlihat merasa sangat bersalah. “Jen, nggak perlu minta maaf Jen.. bukan salahmu kok Jen.. Kamu kan sudah menyuruhku menunggu di kamar, aku sendiri yang keluar mencari kamu…” aku berusaha mengibur Jenny, walaupun aku berada dalam situasi yang sama dengannya.

BERSAMBUNG, DITUNGGU YA