Kudengar nafas mereka yang makin memburu, dan Suwito bertanya pada Wawan, “Wan, gimana nih, kali ini ribet nih pakaian si non ini. Apa jangan jangan ia tahu akan dikerjain lagi?”. Wawan tertawa kecil. “Aku rasa tidak mungkin To. Kalo nona kita ini tahu tadi ada yang ngerjain dia, pasti dia marah. Tenang saja To, gula yang non Eliza ambil tadi itu kan gula buat aku, yang sudah aku campurin obat tidur dosis tinggi. Tahu kan aku susah tidur, dan suka minum yang manis? Tapi nona kita yang ayu ini lagi sial kali. Sesuai kebiasaannya, non Eliza ini kan suka minum susu. Dan gula tadi itu membuat dia sekarang dia pasti sedang dalam pengaruh obat tidur seperti tadi siang. Dan, sekarang waktunya non Eliza untuk menyusui kita berdua nih” katanya sok yakin sambil meremas payudaraku dengan keras, membuat aku sedikit mengerutkan mukaku menahan sakit. Hmm, untung aku tadi minum susu tanpa gula sebelum balet. Ternyata kantukku tadi siang yang sudah kuduga tidak sewajarnya ini, gara gara gula yang bercampur obat tidur itu. Sekarang keputusan ada di tanganku. Aku bangun untuk menghentikan kekurang ajaran mereka berdua ini, atau meneruskan aksi pura pura tidurku sampai mereka puas. Setelah berpikir sambil menahan gairahku yang semakin naik, aku putuskan aku harus bangun, tanpa memberitahukan kalau tadi aku minum susu tanpa gula. Aku pikir jika gairahku sudah tak tertahankan dan aku mulai melenguh, gawat juga.
Maka perlahan aku menggeliat pura pura akan terbangun, berharap mereka terkejut dan kabur. Tapi mereka masih dengan penuh percaya diri menganggap aksi mereka aman aman saja karena aku masih dalam pengaruh obat tidur, meneruskan aktifitas mereka meraba raba dan menekan nekan vaginaku serta meremasi payudaraku. Kelihatannya tak ada pilihan lain, aku harus bangun dan `memergoki’ mereka menjahiliku. Maka aku pura pura baru tersadar dan merintih pelan, “oh.. siapa kalian… apa yang kalian lakukan di kamarku? Kalian.. emmmph… emmmph…” Wawan yang panic membekap mulutku dengan telapak tangannya yang lebar, sementara Suwito yang juga panik memandangku dan Wawan bergantian. Wawan membentak kecil, “To! Goblok! Bantu aku cepat!!”. Sama seperti aku, Suwito juga terlihat bingung dan bertanya “Bantu apanya Wan?”. “Cepat ikat non Eliza, dasar goblok! Lu mau kita celaka?” bentak Wawan lagi walaupun suaranya dipelankan, pasti karena takut kedengaran Sulikah dan pak Arifin. Suwito cepat cepat keluar mengambil tali jemuran, kemudian segera kembali. Aku yang mulai meronta ronta menyadari bahaya ini, ditindih oleh Wawan yang memang badannya besar sekali hingga ku tak berkutik. Bau keringatnya membuatku mual, mengendurkan rontaan kakiku dan memudahkan Suwito merentangkan kakiku lalu mengikat kedua pergelangan kakiku pada ujung ujung ranjangku. Kemudian tangan kananku ditariknya kuat dan diikat ke ujung ranjang. Aku sudah hampir tak berdaya, tangan kiriku menggapai gapai namun segera ditangkap dan seperti tangan kananku, ditarik dan diikat erat di ujung kepala ranjangku satunya.
Kini keadaanku sudah mirip seperti saat pertama aku ditangkap di UKS kemarin. Bedanya, kini mereka cuma berdua, dan aku masih menebak nebak, ancaman apa yang akan mereka turunkan padaku. Dengan cekatan Wawan melepaskan bekapannya pada mulutku, tapi langsung menyumpal mulutku dengan sapu tangannya. Aduh, rasanya benar benar tak karuan, membuatku ingin muntah, tapi kutahan sekuatnya. Kini aku hanya bisa menatap Wawan penuh kemarahan namun juga ada rasa takut yang menghinggapiku ketika ia mengancamku. “Non Eliza, jangan memaksa kami untuk melakukan hal yang tidak tidak. Kalo non Eliza berteriak hingga mengundang Sulikah dan pak Arifin ke sini, kami bisa membuat mereka berdua pingsan, lalu menculik non dan menjadikan non budak seks kami untuk selamanya. Non Eliza mengerti?” bentak Wawan, lagi lagi dengan suara pelan. Dengan pasrah aku mengangguk. Kemudian Wawan dengan kasar melepaskan sumpalan pada mulutku, membuatku terbatuk batuk, hampir saja bibirku yang bawah terluka karena terhantam gigiku sendiri. “Duh Wan, jangan kasar dong”, aku sedikit membentak karena jengkel sekali. Belum pernah sebelumnya aku membentak para pembantuku. “Kalian ini kurang ajar betul ya. Aku ini sudah berbaik hati tidak akan memperpanjang kalian berbuat mesum di dalam rumah ini, tapi sekarang kalian malah berbuat mesum terhadapku. Ya sudah, mulai hari ini kalian bisa menikmati tubuhku kalau di rumah tidak ada papa mama dan kakakku, saat aku tidak sedang mens, dan aku sedang senggang, yaitu waktu aku tak ada PR, tugas, maupun ujian. tapi jangan kasar kasar. Juga jangan sampai kalian melukai aku ya. Awas kalau kalian berani menyakitiku!”, aku mengancam balik.
Mereka saling pandang, kemudian seolah tak percaya dengan pendengaran mereka, mereka bertanya dengan ragu, “mulai hari ini?”. Dengan ketus aku menjawab, “Iya. Mulai hari ini! Kalian ini munafik ya. Aku tahu kalian pasti akan berusaha memperkosaku lagi di lain waktu. Daripada nanti kalian mengikatku, membekapku dan lain lain, itu tidak perlu. Sekarang lepaskan ikatanku. Sangat tidak nyaman tau!”. Mereka terlihat ragu ragu. Wawan berkata “Wah gimana ya, kalo non kami lepaskan, apa jaminan …”, yang langung kupotong “Aku janji aku akan layani kalian. Toh aku sudah tidak perawan lagi, jadi buatku tidak ada ruginya. Asal kalian juga berjanji, tak akan main di kompleks pelacuran. Aku takut terkena penyakit kelamin menular. Kalian mengerti? Sekarang lekas, buka ikatan ini. Aku mau mandi dulu!”. Mereka melepaskan ikatanku, dan memandangiku dengan ragu ragu. Dengan kesal aku membuka semua pakaianku di depan mereka. “Nih. Kalo gak percaya, main aja denganku sekarang!” tantangku. Mereka meneguk ludah melihat tubuh indahku yang terpampang polos di hadapan mereka, kemudian mereka saling mengangguk, dan Wawan berkata, “baik non, kami percaya. Sekarang bagaimana?”. Aku berkata, “Aku mau mandi dulu, gerah nih abis latihan balet. Kalian juga, mandi semua sana. Baunya gak enak tau! Oh iya, ajak pak Arifin sekalian, biar adil. Terus minta Sulikah supaya berjaga, kalau kalau kakakku pulang”. Aku masuk ke kamar mandi, dan menyemprot tubuhku dengan air hangat, mempersiapkan diriku yang akan segera digangbang lagi hari ini. Sebenarnya solusi ini menyebalkan juga, tapi aku pikir lebih baik aku mengalah. Seperti yang sudah kukatakan tadi, toh aku sudah tak perawan lagi, dan aku tak ingin tiba tiba disergap, diikat tak karuan, bajuku terobek, disakiti dan merasa diperkosa.
Tiba tiba pintu kamar mandiku terbuka, dan masuk Suwito, Wawan dan pak Arifin yang sudah telanjang bulat. “Non Eliza, kita mandi sama sama saja ya”, kata Wawan. “Aduh, masa sudah segitu tak sabar sih? Ya sudah cepat. Nanti keburu kokoku pulang”, kataku. Mereka bersorak gembira, mengerubutiku dan memandikanku. Kedua tanganku diangkat oleh Wawan yang memang jauh lebih tinggi dariku. Yang lain menyabuni tubuhku dengan penuh semangat, terutama di bagian payudara dan vaginaku. Setelah selesai menyabuniku, mereka membilas tubuhku sampai bersih, dan menggiringku ke ranjang. Aku berkata, “Tunggu, aku keringkan badanku dulu. Dan kalian, mandi dulu sana! Supaya tak terlalu bau nanti waktu main!”. Mereka menuruti permintaanku, mandi sebersih bersihnya dengan sabunku. Untung saja, sebab aku teringat waktu di UKS kemarin sebenarnya aku tak tahan dengan bau mereka berenam, tapi nafsu birahi yang menguasaiku membuatku mampu bertahan. Dan kini mereka tak lagi berbau tak enak seperti tadi, dan aku yang sudah selesai mencuci mukaku di wastafel kamarku, dan mengeringkan tubuhku, tidur telentang di ranjangku dalam keadaan telanjang bulat, Aku sempat melihat jam, pukul 19:00. Mereka langsung mengeringkan tubuh ala kadarnya, dan menyerbuku yang sudah tersaji polos di atas ranjangku. Wawan mendapat jatah vaginaku, sementara Suwito dan pak Arifin mendapat jatah kedua payudaraku. Wawan menjilati vaginaku yang katanya wangi, sementara Suwito dan Pak Arifin menyusu pada kedua payudaraku sambil meremas remas cukup keras. Dan aku? Tentu saja birahi yang hebat segera melandaku, aku mengerang, mendesah dan menggeliat keenakan.
Dengan penuh nafsu Wawan terus menjilat bahkan mencucup vaginaku. Perlahan tapi pasti, cairan cinta mulai mengalir membasahi dinding vaginaku, yang segera diseruput oleh Wawan dengan rakusnya. Aku sampai menggelinjang kegelian, tanpa sadar kedua tanganku menggenggam sprei menahan nikmat yang kurasakan sekarang ini. Desahan nafasku semakin hebat ketika Wawan menusukkan lidahnya ke dalam vaginaku. Sedangkan pak Arifin dan Suwito semakin bernafsu menyusu ke payudaraku, akhirnya setelah 5 menit aku menggeliat dan mengejang, orgasme melandaku. Cairan cintaku mengalir banyak keluar, sehingga Wawan kelabakan tak mampu membendung Walaupun tak sedahsyat kemarin, tapi sudah cukup untuk membuat nafasku tersengal sengal, seluruh tubuhku berkeringat dan terasa semakin lelah, terutama betisku yang terasa semakin pegal, mungkin karena terlalu sering mengejang dua hari ini, reaksi saat orgasme melandaku. Kini Wawan sudah mengambil posisi di selangkanganku, membuat aku memperhatikan, penis seperti apa yang akan segera memompa vaginaku ini. ternyata penis Wawan tak sebesar dugaanku, paling tak sampai 20 cm, mungkin sekitar 18 cm. Dan diameternya pun mungkin hanya sekecil penis pak Edy, wali kelasku yang aku duga hampir impoten itu. Aku jadi sedikit tenang dan tidak kuatir mengalami sakit yang berlebihan seperti ketika aku dipompa Girno kemarin. Namun aku sedikit bertanya tanya, apa kenikmatan yang aku dapat hari ini akan setara dengan yang aku dapat kemarin? Aku jadi ingin tahu, penis siapa di antara mereka bertiga ini yang paling besar. “He, kalian diam dulu, jangan membuat non Eliza mulet mulet, aku mau memasukkan punyaku dulu”, seru Wawan yang kesulitan menusukkan penisnya karena dari tadi aku menggeliat keenakan saat putingku disedot sedot oleh mereka berdua ini.
Mereka berdua pun diam, ikut memperhatikan proses penetrasi penis Wawan ke anak majikannya ini. Clep, demikian bunyi tusukan yang menenggelamkan kepala penis itu dalam liang vaginaku, membuatku sedikit mengejang saat menerima tusukan itu. Penis ini terasa begitu keras, dan terus menusuk dalam, tapi rasanya tak akan sampai menyentuh dinding rahimku. Wawan melenguh kencang, “ooouuuugh… heeeeghh…”, sementara aku menggigit bibir merasakan sedikit sakit yang bercampur sedikit nikmat. kemudian Wawan mulai bergerak memompa vaginaku, membuat rasa nikmat menjalari sekujur tubuhku. Aku menggeliat pasrah, sementara kedua rekannya yang ikut terbakar nafsu, meminta pelayanan yang lebih dariku. Suwito menaiki perutku, dan meletakkan penisnya di tengah payudaraku. Aku dipaksa merapatkan kedua susuku dengan kedua tanganku hingga menjepit penis itu, lalu ia mulai menggesek gesekkan penisnya yang juga tak terlalu panjang, dan tak terlalu lebar juga diameternya, di antara lipatan buah dadaku. Lalu pak Arifin menyodorkan penisnya ke wajahku, yang membuatku tertegun. Nyaris sebesar punya Girno, hanya yang ini lebih berurat. Dengan ragu aku mengulum penis pak Arifin, yang tentu saja tak muat dalam mulutku yang mungil ini. Tiba tiba telepon di kamarku berdering, dan pak Arifin melepaskan penisnya dari mulutku, mengambil telepon itu dan mendekatkan padaku. Sementara Wawan dan Suwito dengan cueknya meneruskan aktivitasnya. Wawan terus memompa vaginaku dan Suwito terus menikmati jepitan payudaraku pada penisnya.
Pak Arifin mengangkat telepon itu, dan memegangkan gagang telepon untukku, karena kedua tanganku sibuk menahan payudaraku menjepit penis si Suwito. “Me, ini aku. Aku pulangnya masih ntar malaman lagi, soalnya tugasnya belum selesai nih”, terdengar suara yang ternyata kakakku. Dalam keadaan sedang disetubuhi, aku harus menjawab dengan nada yang sewajarnya supaya ia tak curiga yang macam macam, “Iya ko… jadi… koko.. pulang jam berapa.. nanti”, tanyaku sedikit terputus putus karena Wawan terus menggenjotku tanpa ampun. “Yaa, bentar lagi sih keliatannya sudah selesai, tapi setelah selesai aku dan yang lain mau pergi dulu, minum es bareng bareng. Yaa, anggap saja merayakan kecil kecilan. Sulit lho ini tugasnya Kamu mau aku bawakan es juga me? Aku bungkuskan buat kamu ya?” tanya kakakku. “Iya.. boleh ko… Jangan… terlalu malam… ya… hati hati.. ko”, kataku, semakin terputus putus karena si Wawan dengan kurang ajar meningkatkan kecepatannya dalam memompa vaginaku, bahkan saat menancap dalam ia sengaja membiarkan penisnya tertanam sedikit lebih lama, membuat gairah tubuhku semakin bergolak. Celaka, jangan sampai aku orgasme selagi telepon dengan kakakku nih. “Ya, mungkin aku sampai rumah jam setengah 12 malam. Me, kamu kenapa? Sakit ta? Kok seperti ngos ngosan gitu?” tanya kakakku. “Nggak… ko… Cuma… ingin… ke wc… sudah dulu.. ya ko”, kataku sambil menyuruh pak Arifin meletakkan gagang telepon dengan bahasa isyarat, sementara nafasku makin memburu.
Begitu telepon tertutup, aku segera melepaskan lenguhan yang sejak tadi kutahan tahan, dan aku langsung orgasme, kali ini lebih hebat dari yang pertama tadi. Tubuhku sedikit terlonjak lonjak, kedua kakiku melejang lejang dan cairan cintaku keluar banyak sekali hingga membanjir membasahi penis Wawan. Aku memandangnya dengan jengkel sekaligus penuh gairah, apalagi Wawan terus memompaku dengan kecepatan yang makin tinggi, membuat gairahku langsung bangkit walau baru orgasme hebat. Pak Arifin bertanya, “non, kakaknya non pulang jam berapa?”. Aku berkata tetap dengan suara yang terputus putus, “Setengah..dua..belas.. pak”. Pak Arifin lalu keluar entah kemana, aku juga sudah tak perduli. Gila, stamina Wawan benar benar luar biasa, aku dibuatnya kewalahan. Sodokan demi sodokan seolah memompa gairahku meuju orgasme, dan luar biasa, aku sudah orgasme yang ketiga saat ini, dua kali akibat dipompa Wawan dengan ganas, sementara dia tak ada tanda tanda keluar. Jam sudah menunjuk waktu 19:35, sudah setengah jam aku dipompa Wawan, dan ia belum menunjukkan tanda tanda akan orgasme. Bahkan milik Suwito sudah berkedut, ia buru buru memasukkan penisnya ke dalam mulutku yang langsung mengulum rapat dan menyedot nyedot penisnya, membuat Suwito mengerang dan melenguh, spermanya menyemprot deras ke dalam kerongkonganku. Rasanya sedikt lebih gurih dari 6 orang kemarin, atau aku yang sudah mulai menikmati minum sperma, aku juga tak tahu pasti. Penis Suwito terus kusedot sampai mengecil dan tak ada sisa sperma yang menempel sedikitpun.
Kini sementara aku tinggal menghadapi Wawan satu lawan satu. Tiba tiba Wawan dengan perkasa menarikku bangun, dan ia turun dari ranjang berdiri, dengan tetap memeluk pinggangku dan penis yang masih terus menancap erat dalam vaginaku, membuat aku takut terjatuh hingga melingkarkan betisku ke pinggangnya dan merangkul lehernya erat. Wawan menggunakan kesempatan itu untuk melumat bibirku, sementara sodokan penisnya yang begitu kokoh bagaikan sebatang besi, terasa makin dalam menancap di vaginaku, membuatku semakin melayang layang, mengantarku mengalami multi orgasme di pelukan Wawan. “Oooooh…. Waaaaan…. aaaa…duuuuh… e….naaaaak”, erangku, tanpa terkendali aku mengejang ngejang susul menyusul di pelukan Wawan. Kepalaku menengadah, pantatku terasa kejang tersentak sentak ke depan, cairan cintaku membanjir membasahi lantai kamarku, nafasku seperti orang yang habis lari berkilo kilo. Nikmat yang melandaku ini entahlah, mungkin setara dengan nikmat kemarin saat aku digangbang Girno, Urip dan Soleh. Namun Wawan melakukannya sendirian, membuatku kini memandangnya agak lain. Wajahnya memang tak karuan, penisnya juga tak terlalu besar dan tak terlalu panjang, tapi, penisnya memang luar biasa keras, dan kalo staminanya seperti ini, aku berpikir bisa bisa kelak aku yang mencarinya untuk memuaskanku. Aku benar benar sudah larut dalam permainan seks ini, rasanya aku sudah berubah dari cewek yang alim dan terpelajar, menjadi cewek bispak!
Lamunanku buyar saat Wawan tiba tiba memelukku makin erat, sodokannya makin bertenaga, sementara tubuhnya terasa bergetar getar. Oh.. apakah akhirnya ia akan orgasme? Ia mulai melenguh, “heeegh.. non… E…..li……zaaaaaaa…..”, sambil menjepit tubuhku dengan pelukan yang menyesakkan dadaku, namun membuatku kembali orgasme kecil, menngiringi semprotan spermanya yang amat banyak di dalam vaginaku. Wawan menaruhku di ranjangku, dan aku agak terbanting, untungnya ranjangku empuk. Ia terus menanamkan penisnya di dalam liang vaginaku, lalu menindih tubuhku hingga kakiku makin terkangkang lebar. Ia memagut bibirku dengan buas, membuat aku megap megap. Untungnya penisnya semakin mengecil, dan dengan posisi tubuhku yang terlipat iini penisnya dengan cepat terlepas dari vaginaku. Cairan cintaku menghambur keluar cukup banyak bercampur spermanya dan membasahi kedua pahaku ketika aku ditariknya berdiri. Ia memelukku dengan erat dan kembali memagut bibirku seolah aku ini kekasih yang sudah lama dirindukannya. Saat itu aku melihat jam sudah menunjuk pukul 20:10. Edan. Ini berarti Wawan menggenjotku selama satu jam. Benar benar lelaki yang perkasa. Tiba tiba entah sejak kapan, aku melihat Sulikah dan pak Arifin sudah ada di kamarku, kelihatannya sejak lama, cukup lama untuk melihat aku menyerah dalam pelukan Wawan. Pak Arifin mendekat mengambil giliran. Aku masih tersengal sengal, ketika pak Arifin yang biasanya kalem ini dengan buas penisnya yang berukuran raksasa langsung diterjangkan ke vaginaku yang untungnya masih basah kuyup oleh campuran sperma Wawan dan cairan cintaku tadi, sehingga masih sangat licin.
“aaagh…aduh…oooh… heeegh…auuuh…nngggh “, erangku berulang ulang tanpa daya ketika pak Arifin dengan bersemangat sekali memompa vaginaku yang langsung terasa amat sakit seperti saat pertama Girno memompa vaginaku. Urat urat itu terasa begitu menggerinjal mengaduk aduk vaginaku. Rasa sakit yang nyaris tak tertahankan ini membuatku teringat sisa obat perangsang di tas sekolahku. Aku meminta pak Arifin berhenti sebentar, dan minta tolong pada Sulikah untuk mengambilkan botol aqua yang isinya tinggal separuh itu di dalam tasku, yang langsung kuteguk habis begitu Sulikah memberikan padaku. Aku sempat melihat sekelilingku, Wawan duduk di sofa kamarku, sementara Suwito tiduran di lantai. Dan Sulikah kembali duduk di kursi meja riasku. Lalu aku mempersilakan pak Arifin untuk mulai memompa vaginaku begitu aku mulai merasa panas yang tak wajar menjalari tubuhku. Ya, obat perangsang itu mulai bekerja. Tanpa mampu mengendalikan diri, aku melayani pak Arifin dengan penuh nafsu, sakit yang tadinya melanda vaginaku sudah lenyap sama sekali berganti kenikmatan yang luar biasa dahsyat. Lenguhan, desahan dan erangan kami berdua memenuhi kamarku, membuat siapa saja yang mendengar pasti bangkit gairahnya, termasuk Wawan dan Sulikah, yang aku lihat sudah saling memagut bibir dengan serunya, membuatku tak mau kalah dan menarik leher pak Arifin untuk kemudian kupagut bibirnya dengan ganas. Sudah 15 menit pak Arifin memompaku, entah aku sudah berapa kali melayang dalam orgasme, akhirnya pak Arifin melenguh panjang, menyemprotkan spermanya dalam liang vaginaku. Semprotan itu terasa begitu banyak dan kencang, rasanya mengenai bagian terdalam di liang vaginaku, mungkin menembus rahimku. Aku tergolek lemas dalam keadaan penuh nafsu, memandang Suwito yang harusnya sudah pulih karena ia yang pertama keluar tadi.
Suwito langsung tanggap dan mendekatiku. Ia segera menusukkan penisnya ke dalam vaginaku, dan mulai memompa vagina yang sudah kehausan penis lelaki. Obat perangsang itu benar benar dahsyat, aku mencumbu Suwito dengan buas, membuat Wawan yang sudah bergairah tak tahan lagi dan mendekatiku. Suwito mengerti dan mendekapku erat lalu berbaring telentang hingga aku kini menindihnya. Dan Wawan menjilati anusku, mendatangkan sensasi aneh dan luar biasa bagiku. Lidahnya terus mengorek ngorek anusku yang semakin lebar, kemudian ia menyuruhku meludahi penisnya yang disodorkan ke wajahku. Dalam kepasrahan kuturuti kemauannya, aku tahu ia akan segera membobol anusku. Tapi aku yang sudah terangsang hebat ini tak perduli. Dengan beberapa kali dorongan, akhirnya penis Wawan yang sudah amat licin itu menembus anusku, membuatku melolong panjang karena kesakitan. Bagaimanapun, aku belum terbiasa anusku dibobol. Kini dalam keadaan disandwich, aku disodok sodok bergantian dari atas dan bawah, hingga akhirnya tak sampai 10 menit kemudian aku sudah orgasme, bersamaan dengan menyemprotnya sperma Suwito dalam liang vaginaku. Dalam keadaan anusku masih tertancap penis Wawan, pak Arifin menggantikan posisi Suwito. Penisnya yang raksasa itu sudah menegang tegak, siap untuk kembali menyodok vaginaku dengan buas. Suwito menyodorkan penisnya ke wajahku dan aku tak perlu disuruh, segera kubersihkan sperma yang tertinggal di penis itu dengan mengulum ngulum dan menyedot nyedot penis itu hingga bersih, sementara pemiliknya melenguh lenguh keenakan, lalu roboh di depanku.
Birahiku yang semakin tinggi membuatku antara sadar dan tidak, dengan penuh nafsu melayani sodokan dua penis sekaligus di selangkanganku. Kugerakkan tubuhku mengikuti irama sodokan itu, berulang ulang aku mencapai klimaks, sampai akhirnya pak Arifin orgasme duluan. Kini tinggal Wawan yang menyodomi aku dengan gencar, memang Wawan luar biasa. Pak Arifin menyodorkan penisnya untuk kubersihkan, dan aku dengan semangat mulai mengulum dan menyedot nyedot penis itu sampai mengecil, sementara Suwito sudah berada di bawahku, namun bukan untuk menikmati vaginaku, melainkan menyedot susuku yang tergantung karena kini aku dalam keadaan doggie style. Pak Arifin duduk dan melumat bibirku dengan bernafsu. Sulikah kulihat mulai bermasturbasi dengan mengaduk vaginanya dengan jarinya sendiri. Ia pasti terangsang hebat melihatku begitu pasrah dikeroyok oleh 2 orang rekannya ditambah sopirku. setengah jam kemudian Suwito sudah pulih, dan menusukkan penisnya ke vaginaku, membuat selangkanganku kembali terasa sesak membangkitkan gairahku, dan tak lama kemudian aku langsung orgasme hebat. Seolah bekerja sama dengan Wawan, mereka menusukkan senjatanya dalam dalam bersamaan dan berlama lama menahan penis mereka di sana, membuat aku melenguh lenguh tak kuasa menahan nikmat. Aku sudah setengah sadar saat jam menunjuk pukul 22:15. Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus mili liter cairan cinta yang sudah diproduksi tubuhku selama 3 jam ini. Mereka bertiga bergantian memuaskanku, sampai akhirnya ambruk satu per satu di sekelilingku. Kondisiku sendiri tak lebih baik, tenagaku terasa terkuras habis. Untungnya aku besok masih sekolah siang. Ya, semester depan aku akan sekolah pagi. Yang jelas besok aku masih ada kesempatan bangun agak siang.
Deru nafas yang memburu bersahut sahutan di kamarku. Aku mulai sadar dari pengaruh obat perangsang tadi, dan bangkit menuju kamar mandiku dengan sempoyongan. Kukeluarkan sperma yang bisa aku keluarkan dari vaginaku dengan bantuan tangan dan siraman air shower. Aku mandi keramas menghapus sisa keringatku dan keringat mereka yang menempel di sekujur tubuhku, lalu mengeringkan tubuhku serta rambutku. Kemudian, masih telanjang bulat, aku kembali ke ranjangku yang masih awut awutan akibat `perang’ yang baru terjadi. Wawan masih tergeletak di ranjangku, aku memintanya turun, karena aku harus mengganti sprei ranjangku. Aku tak mau tidur dengan bau keringat, sperma dan cairan cinta di sekitarku. Dibantu Sulikah aku memasang sprei yang baru, sementara sprei tadi dibawanya turun ke tempat cucian setelah ia pamit padaku untuk tidur. Sementara 3 begundal ini, aku masih ada urusan yang harus kubicarakan dengan mereka semua. “Pak Arifin, Wawan dan Suwito. Sekali lagi, aku ingatkan, hal barusan ini hanya bisa terjadi jika kedua ortuku dan kakakku tidak ada di rumah, juga jika aku tidak ada PR atau tugas ataupun ujian, juga pada saat aku tidak sedang mens. Di luar itu, jangan coba coba memaksaku. Kalo ketahuan, selain kalian dipecat, aku sendiri juga bakal susah. Daripada hal yang sama sama merugikan kita semua terjadi, tolong kalian jangan berlaku ngawur. Kalian juga bisa menikmatiku, tapi kalian harus janji tak akan jajan di luar. Aku tak ingin kena penyakit kelamin yang menular. Apa kalian mengerti?” tanyaku panjang lebar, yang dijawab mereka semua, “akuuuur…”.
Lalu dengan langkah gontai karena sama sama kehabisan tenaga, mereka bertiga keluar dari kamarku menuju ke kamar masing masing. Tinggal aku sendiri yang menunggu kakakku pulang sambil merenung. Masih ada sejam lagi sebelum kakakku pulang, aku berpikir aku lebih baik tidur saja, toh kakakku bawa kunci pintu depan. Aku mengenakan baju tidur satin yang nyaman seperti kemarin, lalu mengistirahatkan tubuhku yang sudah amat kepayahan ini di atas ranjangku yang empuk. Aku membayangkan, Jumat depan aku harus melayani 6 begundal kemarin. Apa lokasinya tetap di ruang UKS itu? Apa yang harus kulakukan? Bagaimana jika mereka gelap mata menyeretku ke mess yang dihuni sekitar 60 orang itu? Aku bisa apa? Apa mereka tetap mau melepaskan diriku seperti kemarin? Lalu, sampai kapan aku akan jadi budak seks kedua pembantu dan sopirku ini? Pertanyaan demi pertanyaan menghiasi pikiranku, mengantarku tidur yang kali ini tak begitu nyenyak. Beberapa jam sekali aku mengalami mimpi buruk, dimana aku berada di tengah kerumunan 60 orang yang mengepung diriku hingga aku panik dan terbangun. Oh.. apakah ini tanda bahwa nanti aku benar benar harus melayani penghuni mess dimana Girno dan yang lain tinggal itu?