Tenggelam Dalam Nikmat Pesta Seks
Kini aku mulai sadar dari gairah nafsu birahi yang menghantamku selama hampir satu jam ini. Namun aku tidak menangis. Tak ada keinginan untuk itu, karena sejujurnya aku tadi amat menikmati perlakuan mereka, bahkan gilanya, aku menginginkan diriku dijadikan obyek pesta seks lagi seperti tadi. Apalagi mereka cukup lembut dan pengertian, tidak sekasar yang aku bayangkan.
Mereka benar benar menepati janji untuk tidak melukaiku dan menyakitiku seperti menampar pipiku ataupun menjambak rambutku. Bahkan Girno memelukku dan membelai rambutku dengan mesra dan penuh kasih sayang, setidaknya menurut perasaanku, sehingga membuatku semakin pasrah dan hanyut dalam pelukannya. Apalagi yang lain kembali mengerubutiku, membelai sekujur tubuhku seolah ingin menikmati tiap senti kulit tubuhku yang putih mulis ini. Entah kenapa aku merasa aku rela melayani mereka berenam ini untuk seterusnya, membuatku terkejut dalam hati.
Hah? Apa yang baru saja aku pikirkan? Aku ini kan diperkosa, kok aku malah berpikir seperti itu? Tapi tak bisa kupungkiri, tadi itu benar benar nikmat, belum pernah aku merasakan orgasme yang senikmat itu ketika aku bermasturbasi.
Lagian, apakah ini masih bisa disebut perkosaan? Selain aku pasrah melayani apa mau mereka, aku juga menikmatinya, bahkan sampai orgasme berkali kali.
Lamunanku terputus saat Girno mengangkat tubuhku hingga penisnya yang sudah mengecil terlepas dari vaginaku, dan ia menyingkir membiarkan Soleh mengambil gilirannya.
“Non, kita lanjutin ya”, kata Soleh yang sudah tiduran di sela kakiku yang sedikit mengkangkang.
Aku hanya menurut saja dan menaiki penisnya yang tegak mengacung itu. Soleh memegang dan membimbing penis itu menempel pada bibir vaginaku. Sekali ini, tanpa paksaan sedikitpun, malah aku yang berinisiatif menurunkan badanku, hingga perlahan penis itu tertelan dalam liang vaginaku.
“Ooh… aaah….”, erang Soleh ketika penisnya mulai melesak ke dalam vaginaku.
Memang lebih mudah dari punya Girno tadi, karena diameter penis si Soleh lebih kecil. Namun tetap saja, panjangnya yang tidak selisih banyak dengan milik Girno tadi membuatku kelabakan.
“Ooh.. aduuuuh… “, erangku panjang seiring makin menancapnya penis Soleh hingga amblas sepenuhnya dalam vaginaku.
Penisnya terasa hangat, lebih hangat dari punya si Girno yang kini duduk di kursi tengah ruang ini sambil merokok. Mereka memberiku kesempatan untuk bernafas sejenak, kemudian Urip mendorongku hingga aku kembali telungkup, kali ini menindih Soleh yang langsung mengambil kesempatan itu untuk melumat bibirku. Baru aku sadar, Soleh ini pasti tinggi sekali.
Rupanya si Urip belum puas dan ingin melanjutkan aksi sodominya terhadapku. Kembali aku disandwich seperti tadi. Namun kali ini aku lebih siap. Aku melebarkan kakiku hingga semakin mengkangkang seperti kodok, dan… perlahan tapi pasti, liang anusku kembali ditembus penis Urip yang amat keras ini, membuat bagian bawah tubuhku kembali terasa sesak.
Walaupun memang tidak sesesak tadi, rasa mulas dan ingin mengejan itu langsung kembali lagi menyiksa tubuhku, membuatku merintih dan mengerang, antara pedih dan nikmat. Beberapa kali aku harus menahan nafas karena kesakitan.
Kini Hadi dan Yoyok ikut mengepungku. Mereka masing masing memegang tangan kiri dan kananku, mengarahkanku untuk menggenggam penis mereka dan mengocoknya. Selagi aku mulai mengocok dua buah penis itu, wali kelasku yang ternyata bejat ini mengambil posisi di depanku, kelihatannya akan memintaku untuk mengoral penisnya.
“Dioral sekalian Eliza, daripada nganggur nih”, katanya dengan senyum yang memuakkan.
Tapi aku terpaksa menurutinya daripada nanti ia berbuat atau mengancam yang macam macam. Kubuka mulutku walaupun dengan setengah hati, membiarkan penis pak Edy yang berukuran kecil ini masuk dalam kulumanku.
Jadi kini aku digempur 5 orang sekaligus, yang mana justru membuat gairahku naik tak karuan. Apalagi Soleh dan Urip makin bersemangat menggenjot selangkanganku, benar benar dengan cepat membawaku orgasme lagi.
“Eemmph….”, erangku keenakan.
Tubuhku mengejang, dan kurasakan cairan cintaku keluar, melumasi vaginaku yang terus dipompa Soleh yang kulihat sedang merem melek keenakan. Tiba tiba penis pak Edy berkedut dalam mulutku, dan tanpa ampun spermanya muncrat membasahi kerongkonganku.
Baru kali ini aku merasakan sperma dalam mulutku, rasanya aneh, asin dan asam. Mungkin karena sudah beberapa kali melihat film biru, tanpa disuruh aku sudah tahu tugasku. Kubersihkan penis pak Edy dengan kukulum, kujilati, dan kusedot sedot sampai tidak ada sperma yang tertinggal di penis yang kecil itu, sementara itu pak Edy melolong lolong keenakan.
“Lho pak, kok sudah keluar? Masa kalah sama sepongannya non Eliza? Bagaimana nanti sama memeknya? Seret banget lho pak”, kata Soleh dengan nada sedikit mengejek, yang disambung tawa yang lain.
Pak Edy terlihat tersenyum malu, dan tak berkata apa apa, hanya duduk di sebelah si Girno. Aku juga tertawa dalam hati, namun ada bagusnya juga, kini tugasku menjadi sedikit lebih ringan.
Hadi yang juga ingin merasakan penisnya kuoral, pindah posisi ke depanku, dan mengarahkan penisnya ke mulutku. Aku mengulum penis itu tanpa penolakan, dan kocokan tangan kananku pada penis Yoyok kupercepat, aku seakan sedang berlomba mengimbangi cepatnya sodokan demi sodokan penis Soleh dan Urip yang semakin gencar menghajar vagina dan anusku.
“Ouuggghh….”, Urip tiba tiba mendengus dengus dan melolong panjang seiring berkedutnya penisnya dalam liang anusku.
Penis Urip menyemprotkan spermanya berulang ulang di dalam liang anusku hingga terasa hangat sekali pada liang anusku di bagian terdalam. Perutku kembali sedikit mulas, tapi mulas yang enak sekali.
Kini aku tinggal melayani 3 orang saja, namun entah aku sudah orgasme berapa kali. Aku amat lelah untuk menghitungnya. Dan Yoyok berniat menggantikan Urip membobol anusku. Baru aku sadar, dari genggaman tanganku tadi pada penis Yoyok, aku tahu penis Yoyok tidak panjang, tapi… diameternya itu.. rasanya seukuran dengan punya si Girno. Dan celaka… penis itu akan segera menghajar anusku.
“Oooh… ooogh… sakiiiit…”, erangku ketika Yoyok memaksakan penisnya sampai akhirnya masuk.
Namun seperti yang tadi tadi, rasa sakit yang menderaku hanya berlangsung sebentar, dan berganti rasa nikmat luar biasa yang tak bisa dilukiskan dengan kata kata. Aku melenguh lenguh menikmati mulasnya perutku, juga rasa ingin mengejan yang mendera liang anusku. Apalagi liang vaginaku ini semakin ngilu seperti akan copot saja, karena Soleh terus memompa liang vaginaku tanpa ampun.
Aku semakin tersengat birahi ketika Soleh yang ada di bawahku meremas remas payudaraku yang tergantung di depan matanya, sementara Hadi menekan nekankan kepalaku untuk lebih melesakkan penisnya ke kerongkonganku. Di sini aku bisa mengira ngira, ternyata penis si Hadi ini mirip dengan punya Urip dan Soleh.
Dengan pasrah aku terus melayani mereka satu per satu sampai akhirnya mereka orgasme bersamaan. Dimulai dari kedutan penis Soleh dalam vaginaku, tapi tiba tiba penis Hadi berkedut lebih keras dan langsung menyemburkan spermanya yang amat banyak dalam rongga mulutku. Aku gelagapan dan nyaris tersedak, namun aku usahakan semuanya tertelan masuk dalam kerongkonganku.
Selagi aku berusaha menelan semuanya, tiba tiba dari belakang Yoyok menggeram, penisnya juga berkedut, kemudian menyemprotkan sperma berulang ulang dalam liang anusku, diikuti Soleh yang menghunjamkan penisnya dalam dalam sambil berteriak penuh kenikmatan.
“Ooohh… aanggh…”, aku sendiri juga mengerang panjang.
Bersamaan dengan berulang kali menyemprotnya sperma Soleh di dalam vaginaku, aku juga mengalami orgasme hebat. Hadi jatuh terduduk lemas setelah penisnya kubersihkan tuntas seperti punya pak Edy tadi. Lalu Soleh yang penisnya masih menancap di dalam vaginaku memelukku erat dan kembali melumat bibirku dengan ganas, sampai aku tersengal sengal kehabisan nafas.
Yoyok yang penisnya tak terlalu panjang hingga sudah terlepas dari anusku, juga duduk bersandar di dinding. Liang anusku langsung terasa lega dan nyaman, dan sekarang ini tinggal aku dan Soleh yang ada di atas ranjang.
Kami terus bergumul dengan panas. Soleh membalik posisi kami hingga aku telentang di ranjang ditindihnya, dan penisnya tetap masih menancap dalam vaginaku meskipun mulai lembek, mungkin dikarenakan penis Soleh yang panjang.
Tanpa sadar, kakiku melingkari pinggangnya Soleh, seakan tak ingin penisnya terlepas, dan aku balas melumat bibir si Soleh ini.
Mungkin pergumulan kami yang panas menyebabkan birahi Girno terbakar. Aku sempat melihat penis raksasa itu mengacung kembali, seolah menandakan tenaganya yang sudah pulih setelah tadi sudah sempat berejakulasi.
Namun ia dengan sabar membiarkan aku dan Soleh yang bergumul dengan penuh nafsu. Namun penis Soleh yang semakin mengecil itu akhirnya tidak lagi tertahan erat dalam vaginaku, dan Soleh pun tampaknya tahu diri untuk memberikanku kepada yang lain yang sudah siap kembali untuk menggenjotku.
Girno segera menyergap dan menindihku, tanpa memberiku kesempatan bernafas, dengan penuh nafsu ia segera menjejalkan penisnya yang amat besar itu ke dalam vaginaku. Aku terbeliak, merasakan kembali sesaknya vaginaku.
Girno yang sudah terbakar nafsu ini mulai memompa vaginaku dengan ganas, membuat tubuhku kembali bergetar getar sementara aku mendesah dan merintih merasakan nikmat berkepanjangan ini.
Gilanya, aku ingin Girno bersikap lebih liar. Aku malah mencoba menggoda Girno dengan pura pura ingin menahan sodokan penisnya dengan cara menahan bagian bawah tubuhnya. Benar saja, dengan tatapan garang ia mencengkram kedua pergelangan tanganku dan menelentangkannya di atas ranjang tempat aku dibantai ini, membuatku tak berdaya. Dan sodokan demi sodokan penis Girno yang menghajar vaginaku terasa semakin keras.
Aku bahkan nekat menatap Girno dengan pandangan sayu memelas untuk lebih menggodanya lagi, dan ternyata memang berhasil. Dengan nafas memburu, Girno melumat bibirku seolah tak ingin bibirku terlepas dari pagutannya. sambil terus memompa vaginaku.
Kini aku yang gelagapan. Orgasme yang menderaku membuat tubuhku bergetar hebat, tapi aku tak berdaya melepaskan ledakan birahiku karena seluruh gerakan tubuhku terkunci. Bahkan untuk melenguh pun aku tidak bisa karena Girno masih saja melmat bibirku. Aku hanya bisa diam dan pasrah hingga akhirnya Girno menggeram nggeram, semprotan sperma yang cukup banyak kembali membasahi liang vaginaku.
Girno melepaskan cengkramannya pada kedua pergelangan tanganku, namun aku sudah terlalu lelah dan lemas untuk menggerakkannya. Ia turun dari ranjang, setelah melumat bibirku dengan ganas, lalu memberi kesempatan pada pak Edy yang penisnya sudah ereksi kembali.
Kali ini, ia terlihat lebih gembira, karena mendapatkan jatah liang vaginaku, yang kelihatannya sudah ditunggunya sejak tadi. Dengan tersenyum senang, yang bagiku memuakkan, ia mulai menggesekkan kepala penisnya ke vaginaku yang sudah banjir cairan sperma bercampur cairan cintaku. Tanpa kesulitan yang berarti, ia sudah melesakkan penisnya seluruhnya membelah dinding liang vaginaku yang licin ini.
Aku sedikit mendesah ketika ia mulai memompa vaginaku. Namun lagi lagi seperti tadi, belum ada 3 menit, pak Edy sudah mulai menggeram, kemudian tanpa mampu menahan lagi ia menyemprotkan spermanya ke dalam liang vaginaku.
Yang lain kembali tertawa, sedangkan aku yang belum terpuaskan dalam ‘sesi’ ini, memandang yang lain, terutama Hadi yang belum sempat merasakan selangkanganku. Hadi yang seolah mengerti, segera mendekatiku. Terlebih dulu ia mencium bibirku dengan gaya yang dimesra mesrakan, membuatku sedikit geli namun cukup terangsang juga.
Tak lama kemudian, Hadi sudah siap dengan kepala penis yang menempel di vaginaku, lalu mulai melesakkan penisnya dalam dalam. Ia terlihat menikmati hal ini, sementara aku sedikit mengejang menahan sakit karena Hadi cukup terburu buru dalam proses penetrasi ini.
Selagi kami dalam proses menyatu, yang lain sedang mengejek pak Edy yang terlalu cepat keluar. Ingin aku menambahkan, penisnya agak sedikit lembek. Tapi aku menahan diri dan diam saja, karena aku tak ingin terlihat murahan di depan mereka.
Hadi mulai memompa vaginaku. Rasa nikmat kembali menjalari tubuhku. Pinggangku bergerak gerak dan pantatku sedikit terangkat, seolah menggambarkan aku yang sedang mencari kenikmatan. Selagi aku dan Hadi sudah mulai menemukan ritme yang pas, aku melihat yang lain yaitu Yoyok dan Urip akan pergi ke wc, katanya untuk mencuci penis mereka yang tadi sempat terbenam dalam liang anusku.
Sambil keluar Urip berkata, “Nanti kasihan non Eliza, kalo memeknya yang bersih jadi kotor kalo kontolku tidak aku cuci”.
“Iya, juga, kan kasihan, amoy cakep cakep gini harus ngemut kontol yang kotor seperti ini”, sambung Yoyok.
Oh.. ternyata mereka begitu pengertian padaku. Aku jadi semakin senang, dan menyerahkan tubuhku ini seutuhnya pada mereka. Kulayani Hadi dengan sepenuh hati, setiap tusukan penisnya kusambut dengan menaikkan pantatku hingga penis itu bersarang semakin dalam, memberikan nikmat yang amat sangat.
Tanpa ampun lagi, tak 5 menit kemudian aku orgasme disusul Hadi yang menembakkan spermanya dalam liang vaginaku, bersamaan dengan kembalinya Yoyok dan Urip. Namun mereka berdua ini tak langsung menggarapku. Setelah Hadi kembali terduduk lemas di bawah, mereka berdua mengerubutiku, tapi hanya membelai sekujur tubuhku, memberiku kesempatan untuk beristirahat setelah orgasme barusan.
Mereka berdua menyusu pada payudaraku, sambil meremas kecil, membuatku mendesah tak karuan. Kini jam sudah menunjukkan pukul 21:00 malam. Tak terasa sudah satu jam aku melayani mereka semua.
Dalam keadaan lelah, aku minta waktu sebentar pada Urip dan Yoyok untuk minum. Keringat yang mengucur deras sejak tadi membuatku haus. “Sebentar bapak bapak, saya mau minum dulu ya”, kataku. Kebetulan di tasku ada sekitar setengah botol air Aqua, sisa minuman yang tadi sore, tapi aku langsung teringat, minuman itu dicampur obat cuci perut yang mengantarku ke horor di ruang UKS ini.
“Pak Girno. Itu air sudah bapak campurin obat cuci perut kan? Tolong pak, belikan saya minuman dulu. Tapi jangan dicampurin apa apa lagi ya pak”, kataku sambil akan turun dari ranjang untuk mencari uang dalam dompet yang ada di dalam tas sekolahku.
Tapi Girno berkata, “Tidak usah non. Saya belikan saja, sekalian sebagai hadiah untuk non”.
Dalam hati aku menggerutu, air aqua sebotol saja dikatakan hadiah. Tapi aku diam saja.
Girno pergi ke WC sebentar untuk mencuci penisnya, kemudian kembali dan mengenakan celana dalam dan celana panjangnya saja. Lalu ia keluar untuk membeli air minum untukku.
Sambil menunggu, yang lain menggodaku, merayuku betapa cantiknya aku, betapa putih mulusnya kulit tiubuhku yang indah dan sebagainya. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi itu semua.
Tak lama kemudian, Girno kembali sambil membawa sebotol Aqua, yang segelnya sudah terbuka.
Aku menatapnya curiga, dan bertanya dengan ketus. “Pak, masa bapak tega mencampuri air minum ini lagi? Nanti kan saya mulas mulas lagi?”.
Girno dengan tersenyum menjawab, “Nggak non. Masa lagi enak enak gini saya pingin non bolak balik ke WC lagi. Ini cuma supaya non Eliza gak terlalu capek. Buat tambah tenaga non”.
Yah.. pokoknya bukan obat cuci perut, aku akhirnya meminumnya sampai setengahnya, karena aku sudah semakin kehausan. Tak lupa aku mengambil botol sisa air minum yang tadi di dalam tasku, dan membuangnya ke tong sampah di ruang ini. Aku tak mau sampai salah minum dan kemudian menderita seperti tadi.
BERSAMBUNG KE PART07
BERSAMBUNG KE PART07