Senin, 31 Juli 2017

ELIZA04 : DIRUMAH JENNY PART04

Pembantaian Di Rumah Jenny

Jenny terlihat lemas saat kami digeret ke mess tempat para buruh ini tidur. Aku melihat ada lima ranjang berukuran tanggung, untuk ukuran satu orang saja. Ranjang ranjang itu berjajar dua dan tiga. Hawanya tidak terasa pengap, mungkin karena ukuran ruang tidur yang besar ini. Kini kami berdua sudah sepenuhnya berada dalam cengkraman lima orang buruh ini. Dalam hitungan detik, aku dan Jenny sudah ditelanjangi bulat bulat, pakaian kami sudah berserakan di lantai. Mereka pun sudah bertelanjang bulat, siap memangsa dua amoy cantik yang menjadi idola di sekolah kami.


Memang selain aku, Jenny juga salah satu bunga yang menjadi incaran para kumbang jantan di sekolahku. Acara pesta amoy ini dimulai oleh Supri dan Umar yang mendekati aku, sementara tiga orang yang lain memegangi Jenny yang masih terlihat tak terima melihatku jatuh ke tangan buruh buruhnya. Aku sempat melihat jam di kamar ini, yang menunjuk pukul empat lebih lima belas menit. Baru lima belas menit berlalu sejak aku mencari Jenny sampai tertangkap para begundal ini. Entah sampai kapan mereka akan menikmati tubuh kami. Tapi aku tak punya banyak waktu untuk melamun, remasan tangan Umar yang kekar dan penuh tenaga pada kedua payudaraku dari belakang memaksa tubuhku menggeliat kesakitan. Tubuhku seolah didekap Umar dari belakang, ia sibuk menghirup harumnya bau rambutku, geli juga aku dibuatnya.


Supri mendekati kami sampai akhirnya aku terhimpit di antara tubuh kekar dua orang buruh ini, lalu dengan santai ia meremas kedua pantatku. Oh.. aku mulai terangsang. Kini jantungku berdetak cepat bukan karena takut, tapi karena nafsu birahi yang mulai melanda tubuhku ketika kedua orang ini seolah olah sedang memperebutkan tubuhku, dan aku merasa begitu sexy. Tapi tetap saja aku terpaksa menolehkan kepalaku yang sempat terbenam di dada Supri yang bidang. Bau tak sedap yang menyeruak hidungku membuatku harus melakukan ini karena aku masih tak ingin muntah. Saat itu aku bertatapan dengan Jenny, yang terlihat menyesal dan menatapku dengan berurai air mata, seolah ingin meneriakkan kata maaf. Aku menatapnya ingin mengatakan kalau aku tak menyalahkan dia karena ini memang bukan salahnya, tapi gelora lautan birahi sudah menghantamku, aku sudah hampir terhanyut sepenuhnya. Maka aku hanya bisa menatapnya sayu sambil menggelengkan kepalaku, semoga dia mengerti. Kini aku sudah tak bisa berpikir jernih lagi, karena bibir vaginaku sudah diraba lembut oleh Supri.


Ia begitu pandai merangsangku, tak lama kemudian cairan cintaku sudah mulai keluar sedikit. Aku mulai mendesah dan menggeliat, tapi ini membuatku lebih terangsang lagi, karena kulit tubuhku bergesekan dengan tubuh kedua buruh bejat ini yang kulitnya terasa begitu kasar. “Nggghh…”, aku melenguh ketika jari tangan Supri tercelup masuk ke dalam liang vaginaku Ditambah dengan pelintiran pada kedua puting susuku oleh Umar, rasa sakit sakit nikmat yang terus menyiksaku dari tadi, sudah membuatku hampir orgasme. Aku mulai mengejang keenakan, diiringi tawa mereka yang harusnya terdengar menjijikkan, tapi aku sudah tak perduli, atau lebih tepatnya sudah tak bisa perduli. Tubuhku memang lebih jujur dari aku, cairan cintaku rasanya mengalir lebih banyak saat aku terus menerus dirangsang seperti ini.



Nikmat ini sudah mengalahkan akal sehatku. Aku sudah takluk oleh kedua buruh bejat ini, yang status sosialnya sama sekali tak sederajat denganku. Kedua orang ini semakin bernafsu menggumuliku. Dan akhirnya Supri sudah bersiap siap untuk melakukan serangan pertama. Aku melihatnya mengocok penisnya sebentar, dan aku memperhatikan seperti ya apa penis yang akan segera mengaduk aduk liang vaginaku ini? Penis itu sudah mengacung tegak, besar, agak bengkok ke atas mendekati pusar perutnya. Pusar perutnya?? Baru aku tersadar, oh… penis ini panjang sekali. Aku terbelalak ngeri, gairahku langsung padam. Gila, ini sih lebih panjang dari punya Urip, satpam yang mengeroyokku di UKS kemarin lusa.



Diameternya pun tak main main, seimbang dengan kepunyaan sopirku. Tanpa sadar aku menggelengkan kepalaku, seolah berkata jangan, dan Supri hanya tertawa terbahak bahak melihat reaksiku. Aku meronta tanpa daya ketika ia menyergap tubuhku, kedua pahaku diangkatnya sampai aku sedikit lebih tinggi darinya, kemudian penisnya yang ternyata amat kaku itu tak perlu ia bimbing untuk menembus liang vaginaku.


Baru masuk sedikit saja, aku sudah menggeliat kesakitan, namun aku tak bisa kemana mana, tubuhku ditahan oleh Umar yang ada di belakangku. “Nnggggh… oooohh… ampuuuun paaaak…”, aku melenguh dan mengerang kesakitan saat penis itu sudah menancap setengahnya. Supri hanya menertawakku. Tiba tiba aku terbelalak, kurasakan anusku tertempel sesuatu, kiranya penis Umar yang juga sudah siap membobol liang anusku. Tak ada yang bisa kulakukan, aku tahu memohon supaya Umar tak meneruskan niatnya adalah hal yang sia sia. Aku langsung lemas, pasrah bersiap menerima semua penderitaan yang akan menderaku. “Heeeengggghh… aduuuuuh… sakiiiit…”, aku merintih. “Non Eliza, tenang saja.



Senjataku sudah aku beri yang licin licin. Tadinya buat non Jenny, tapi sekarang buat non Eliza saja. Kan non Eliza jadi mainan baru kami sekarang. Tapi nanti non Eliza pasti nagih lho”, bisik Umar dengan nada yang menjijikkan. Ingin aku menamparnya, kurang ajar betul kata katanya tadi barusan, tapi tak ada keberanian untuk melakukan itu. Tak tahu penis Umar ini seperti apa, yang jelas tubuhku rasanya dirobek jadi dua bagian ketika penis penis itu semakin dalam menembus liang vagina dan liang anusku. Dengan beberapa kali hentakan, akhirnya kedua penis itu menancap sempurna, dan mereka mengerang karena penis mereka terjepit kedua liang kenikmatanku yang masih sangat sempit ini.



Sedangkan aku merintih rintih kesakitan, tapi tak ada rontaan yang kulakukan. Aku belum gila untuk melakukan itu, selagi liang vagina dan liang anusku terasa sangat penuh seperti akan robek. Rasa sakit yang menghantam selangkanganku ini benar benar menyiksaku. Apalagi ketika Supri mulai menggerakkan penisnya sedikit, sedikit dan akhirnya mulai memompa liang vaginaku. Aku menggeleng gelengkan kepala kuat kuat, rasanya ingin pingsan saja. Di tengah penderitaan ini, samar samar kudengar Jenny kembali memohon pada mereka untuk menghentikan semua ini. “Non Jenny, kalau non iri biar kami bertiga yang memuaskan non sekarang”, kudengar suara yang menjawab permohonan Jenny itu. Jenny terdiam, dan aku bisa melihat Jenny tak bereaksi sama sekali ketika tiga orang yang menahannya itu mulai mengerubutinya.



Jenny terus melihatku dengan tatapan sedih, membuat aku jadi terharu. Air mataku mengalir pelan di pipiku. Ia masih memikirkan nasibku selagi dirinya juga bernasib tak kalah buruk dibanding diriku. “Lhoo, amoy kita menangis nih”, ejek Supri. “Masih sakit ya? Kontolku dan kontol Umar kegedean ya buat memek Non? Sudah tak perawan kok masih seret gini Non? Kapan kehilangan tuh perawan? Masih baru ya?”, Supri terus menghinaku. Aku membuang muka, tak sudi memperlihatkan wajahku pada buruh bejat ini. Aku berusaha bertahan dari rasa sakit yang luar biasa pada liang vaginaku, dan aku sudah berada dalam keadaan antara setengah sadar dan tidak. Tiba tiba Umar menggantikan Supri memegang pahaku, hingga payudaraku sementara bebas dari remasan dan pelintiran tangan jahil Umar. Supri kemudian mengarahkan wajahku ke hadapannya dengan kasar, karena sejak tadi aku selalu membuang muka, membuat keinginan Supri untuk melumat bibirku sejak tadi tak pernah berhasil.


Aku memejamkan mata, berusaha tak melihat wajah amburadul dari orang yang kini sudah melumat bibirku dengan ganas. Cairan cinta di dalam liang vaginaku bertambah banyak, seolah mengerti kalau harus melumasi dinding liang vaginaku yang sedang dipompa sebuah penis besar. Entah kenapa, rasa sakit di liang anusku mulai berkurang, padahal aku tak merasa genjotan itu berkurang, malah mungkin makin gencar. Mungkin anusku sudah mulai bisa beradaptasi menerima sodokan sodokan penis yang tadinya begitu menyiksaku. Aku tak bisa bernafas ketika lumatan pada bibirku itu semakin ganas. Tanganku yang sejak tadi terjuntai lemas menunjukkan kepasrahanku, kini kupakai mendorong muka Supri. Tapi pagutannya itu tidak lepas juga hingga aku makin tersiksa karena kehabisan nafas, dan aku memukul mukulkan tanganku pada bahunya itu. “Aahh… uhuuk…” aku terbatuk batuk dan sebisa mungkin bernafas ketika akhirnya Supri melepaskan pagutannya pada bibirku.


Dengan nafas tersengal sengal, aku bersandar pada bahu Umar yang ada di belakangku. Lemas sekali rasanya dipermainkan dua begundal ini. Seiring dengan lenyapnya rasa sakit di liang vaginaku dan juga liang anusku, aku mulai bisa merasakan nikmat dari pompaan penis penis itu di selangkanganku. Perlahan, gairahku kembali naik, nafasku mulai memburu. Jantungku kembali berdetak lebih kencang, bahkan kini aku sudah tak mendapatkan masalah ketika tubuhku sedikit menggeliat keenakan. Benar benar aneh, rasa sakit itu memang masih ada, tapi sudah hampir hilang. Kini yang terasa olehku hanyalah rasa nikmat akibat teraduk aduknya liang vagina dan liang anusku oleh penis penis yang besar ini. Aku tak tahu kalau hal ini membuat Jenny takjub melihat ketahanan tubuhku, karena ternyata dulu ia sampai pingsan pingsan saat pertama kali diperkosa oleh para buruhnya ini, yang nanti akan ia ceritakan padaku setelah pembantaian ini selesai. Dan rasa nikmat yang kuterima ini makin lama makin menjadi. Aku mulai merasakan ngilu yang nikmat pada kedua liangku ini.



“Ngghhh… ohhh…. Oooh…aduuuh… auuh… nggghhh”, aku melenguh dan melenguh, akhirnya tubuhku mengejang hebat. Aku orgasme dalam sandwich-an Supri dan Umar di udara. Kakiku melejang lejang, tubuhku menggeliat dan tersentak sentak sampai tertekuk tekuk ke belakang, urat leherku rasanya menegang, sungguh nikmat yang luar biasa, walaupun ini bukan multi orgasme. Cairan cintaku membanjir dan semakin melumasi penis Supri yang jadi semakin lancar menerjang dan memompa liang vaginaku. Aku tak tahu sudah berapa lama berada dalam dekapan kedua orang ini, tiba tiba Umar menggeram dan kurasakan tubuhnya sedikit berkelojotan. “Oh… nooon Eliizaaa… enaaknya…”, racau Umar. Penisnya berkedut kedut, lalu menyemprotkan sperma dalam liang anusku. Tak terlalu banyak, tapi terasa begitu hangat dan nyaman, seolah menghapus rasa sakit yang sempat mendera liang anusku dengan kejam.


Penis Umar memang mengecil dan terus mengecil, tapi sampai semenit aku dipompa oleh Supri yang kelihatannya juga akan orgasme, penis Umar belum juga lepas dari anusku. Rasanya penis Umar itu masih lebih panjang dari penisnya pak Edy wali kelasku. Bahkan dalam keadaan begini pun masih lebih keras. Aku jadi semakin yakin, pak Edy itu mengalami gangguan ereksi. Tak salah jika waktu itu Girno cs mentertawakan pak Edy. Tapi yah… apa perduliku? Tiba tiba penis Supri berkedut membuyarkan lamunanku, membuatku memeluk lehernya. Supri akan orgasme, takutnya ia menjadi lemas dan aku bisa terjatuh jika Umar melepaskanku. Reflek kakiku juga kulingkarkan pada pinggangnya, hingga pegangan Umar pada pahaku terlepas, juga penisnya yang semakin kecil tertarik lepas dari anusku yang langsung terasa lebih lega. Supri menggeram, penisnya yang tertanam makin dalam pada liang vaginaku membuatnya tak tahan lagi, dan menyemprotkan spermanya dengan gencar. Tangannya mendekap pinggangku erat, membuat aku kembali merasa kesakitan, untungnya hanya sebentar. Supri melepaskan penisnya, dan mendudukkan aku di ranjang, di sebelah ranjang tempat Jenny dikerubuti tiga orang buruh tadi. Aku memegangi bibir vaginaku yang liangnya tadi serasa dirobek robek oleh penis penis raksasa yang menghunjami liang vaginaku ini. Tapi lama lama sakitnya tak begitu terasa lagi, kini aku mengistirahatkan tubuhku di ranjang itu, aku tiduran sejenak untuk mengatur nafasku. Jangan tanya keringatku, begitu basahnya tubuhku bahkan sampai rambutku basah kuyup seperti baru keramas saja.


BERSAMBUNG LOH GUYS